laporan buku ragi cerita II
A.
Identitas
Buku
Judul Buku : Ragi Carita 2
Pengarang : Dr. Th. Van den End dan Dr.J.Weitjens, S. J
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Cetakan : 11
Halaman : 439 halaman
B.
Pendahuluan
Ragi
Cerita 2 ini merupakan jilid kedua, yang dimana membicarakan sejarah gereja di
Indonesia periode 1860-an hingga masa kini, dan jilid yang pertama telah terbit
dengan judul Ragi Cerita 1. Melalui buku ini kiranya gereja-gereja di Indonesia
makin memahami dirinya dan menjadikan dirinya relevan di tengah masyarakat
Indonesia.
Sekitar
tahun 1870 mulailah babak baru dalam sejarah gereja di Indonesia, karena
terjadi perubahan diberbagai bidang. Perubahan tersebut terkhususnya dibidang
zending dan gereja, usaha pekabar Injil meluas dan jumlah para zendeling
bertambah dan pendidikan mereka ditingkatkan. Para zendeling ini mulai terbuka
dan kebudayaan pribumi, sehingga sikap mereka terhadap adat menjadi positif.
Begitu pula kelompok-kelompok orang Kristen yang ada di Indonesia mulai diakui
sebagai jemaat-jemaat dan diberi organisasi gerejawi, dan pada abad ke 20
jumlah orang Kristen meningkat pesat karena mereka mulai melakukan sifat yang
terbuka.
`Dalam
sejarah nasional, tahun 1942 dan 1945 merupakan akhir suatu zaman dan permulaan
babak baru dalam sejarah Indonesia. Pada masa itu sebagian besar gereja mulai
berdiri sendiri, sementara pola pemerintah yang sedikit banyak bersifat
hierakis, diganti dengan sistem prisbeterial.
C.
Isi
Masa jaya sistem kolonial.
Pergerakan Nasional (1870-an – 1930-an)
Sekitar
tahun 1870, mulai suatu zaman yaitu “imperialisme baru dan pada saat itu juga
terjadi peluasan wilayah jajahan oleh VOC. Melalui kegiatan pemerintah dan pengusaha-pengusaha
swasta, juga oleh kegiatan zending dan misi, kehidupan rakyat Indonesia semakin
diresapi pengaruh dari barat, di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu pengetahuan. Sampai
tahun 1870, luas kekuasaan dari Belanda belum banyak bertambah ketimbang yang
ada pada masa VOC. Namun, Belanda menganggap diri berhak untuk sewaktu-waktu
campur tangan dalam negara yang setengah-berdaulat itu apabila menyangkut
kepentingan Belanda.
Hanya
sebagian wilayah Hindia-Belanda yang langsung berada dibawah pemerintahan
orang-orang Belanda. Sistem tanam paksa yang berangsur-angsur dihapuskan,
diganti dengan sistem ekonomi Liberal. Hindia-Belanda dibuka untuk
pengusaha-pengusaha swasta, khusus untuk yang berkebangsaan Belanda. Pada
bidang perhubungan, pertanian, pendidikan dan kesehatan, pemerintah suka
menggunakan jasa lembaga-lembaga swasta nbersubsidi, khusus Zending dan Misi,
karena cara itu lebih murah.
Pemerintah
Belanda terdorong oleh pertimbangan moral dan ekonomi. Pertimbangan moral
dianjurkan oleh beberapa tokoh di negeri Belanda sendiri yang menyatakan bahawa
orang-orang Belanda telah menghisap habis darah orang-orang Indonesia dengan
sistem tanam paksa. Sehingga Belanda harus membayar kembali “utang” tersebut;
hal ini disebut “Ethische Politiek” (Ethische = moral, susila). Namun hal ini
bukan berarti Indonesia merdeka, tapi kerjasama oleh dua golongan yang
setaraf.Namun pada tahun 1920-an, cita-cita Ethisce Politiek tidak mungkin
terlaksana. Kebanyakan orang Belanda tidak mau menyerahkan kepada orang-orang Indonesia
walaupun hanya sebagian dari kekuasaan politis dan ekonomis yang dipegangnya. Pergerakan
Nasional bertolak dari wadah kesatuan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda
dan mengisinya dengan kesadaran yang baru.
Sikap pemerintah Belanda lebih positif
daripada dalam masa sebelum 1870. Pengaruh pemikiran liberal yang membuat
pemerintah mengizinkan kehadiran perusahaan-perusahaan swasta yang dapat
membantu dalam bidang ekonomi, terlebih lagi membantu zending dan misi secara
finansial, pengaruh pribadi beberapa tokoh belanda yang beragama Kristen, juga
faktor politis. Namun pemerintah tetap menuntut supaya zending dan misi
melayani kepentingan serta mengikuti kebijaksanaan pemerintah. Sikap dan
kelakuan masyarakat Eropa di Indonesia pada umumnya masih juga merupakan
rintangan dalam usaha pekabaran Injil. Disatu sisi, pemerintah tetap mau
menjadikan zending dan misi sebagai pembantunya dalam melestarikan kekuasaan
Belanda, di sisi lain ada kesadaran nasional yang sempat bertumbuh di kalangan
orang-orang Kristen pula, justru berkat pendidikan yang diberikan oleh
sekolah-sekolah zending
Gereja dan theologia di negeri
Belanda dalam abad ke-19 dan ke-20
Pada
tahun 1796, hubungan khusus antara Gereja Gereformeerd dan Belanda diputuskan.
Tidak ada lagi gereja-negara, dan semua warga negara Belanda mempunyai
kedudukan hukum yang sama apapun agamanya. Namun gereja Hervormd diberi tata
gereja yang bersifat hirarkis sebagai ganti tata gereja presbiterial yang lama.
Tata gereja itu bertahan sampai tahun 1951. Sepanjang masa berlakunya, banyak
protes terhadap organisasi yang tidak sesuai dengan karakter gereja. Protes
tersebut menyangkut pengaruh pemerintah dalam gereja.
Sepanjang
abad ke-19 dan ke-20, di dalam gereja Hervormd terdapat berbagai aliran yang
pola theologia dan kerohaniannya. Golongan tradisional berpegang pada ajaran
bersejarah mengenai Allah Tritunggal dan mengenai Kristus Anak Allah. Kemudian
ada yang disebut golongan injili; golongan yang ajaran serta kerohanian
ortodoks sebagai rintangan pada jalan yang menuju kemajuan umat manusia. Mereka
juga menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat theologianya. Setelah tahun 1860,
muncul theologia modern atau liberal. Theologia ini berdasarkan penelitian
kritis terhadap Alkitab dan filsafat modern.
Sekitar
abad ke-19, muncul theologia yang memiliki arti besar bagi pekabaran inji di
Indonesia, yaitu theologia ethis. Golongan ethis lebih banyak menghormati
tradisi ortodoks dari pada yang lain. Namun para pengikutnya tidak sependapat
dengan ortodoks. Golongan ethis lebih terbuka pada perkembangan zaman. Walaupun
mereka berbeda-beda, namun golongan-golongan tersebut memiliki kesamaan unsur
yaitu perhatian mereka kepada orang-orang percaya, walaupun berbeda-beda
caranya.
Sejak
tahun 1920-an terjadi pergeseran theologia yang dipelopori oleh Karl
Barth(1886-1968) dkk. Bahwa tempat pertemuan dengan Allah bukan pada
hati-nurani namun melainkan dari Firman Allah. Selama abad ke-19 sampai abad ke-20, gereja
Hervormd semakin merosot jumlah anggotanya. Hal itu disebabkan karena banyak
orang belanda saat sensus menyatakan tidak beragama dan berkembangnya suatu
kebudayaan sekuler (non-religius), dan hal inilah yang mengakibatkan munculnya
gereja-gereja baru.
Lembaga-lembaga pekabaran Injil
Belanda dan para utusannya
Pada
tahun 1797 di Rotterdam, sekelompok orang mendirikan Nederlandsch Zendelinggenootschap. Mereka didorong oleh
kejadian-kejadian di Inggris dan oleh contoh orang-orang Herrnhut yang telah
mendirikan lembaga sendiri. Lembaga ini memiliki tujuan yang sama dengan
lembaga lain yaitu pekabaran injil kepada orang-orang kafir. Sebagian besar
para pendukung NZG termasuk anggota gereja Hervromd. Sehingga mereka juga ikut
dalam permasalahan didalam gereja tersebut. Dalam tahun 1850-an, pengurus ada
yang beralih dan mendirikan lembaga baru. Lembaga pertama yang didirikan di samping
NZG ialah Doopsgezinde Zendingsvereeniging (DZV, 1847) mereka memiliki ciri
yaitu menolak baptisan anak, sumpah serta dinas militer, dan pemakaian
asas-asas kongregationalistis dalam hal organisasi gereja.
Kemudian ada pekabaran Injil yang diusahakan
oleh pendeta O.G. Heldring, seorang
penganut aliran Reveil. Heldring memilih metode untuk mengirim orang Kristen
secara spontan dan tanpa jaminan hidup. Dalam gagasan Heldring, yang ingin
ditekankan bahwa kebangunan rohani, peranan anggota jemaat, serta penyerahan
dirikepada pemeliharaan Allah. Ada juga yang memiliki cara yang sama dengan
Heldring yaitu salatiga-zending. Aliran ini berawal dari jemaat di Nyemoh yang
telah berdiri karena kegitan istri seorang pengusaha Belanda. Di Batavia, ada
sekelompok orang yang berminat pada pekabaran injil. Karena tidak ada wadah
yang menampung mereka maka didirikanlah Genootschap van In-en Uitwendige
Zending te Batavia. Tujuan mereka ialah memperluas kerajaan Allah dari
orang-orang Kristen sendiri dan orang-orang kafir dan islam. Tindakan ini
merupakan bentuk protes terhadap aliran modern dalam NZG. Kemudian muncul
Utrechtsche Zendingsvereeniging (UZV) yang beraliran “ethis”. Pada tahun
1859, muncul Nederlandsche Gereformeerde
Zendingsvereeniging (NGZV); menganut aliran ortodoks namun berpegang pada
theologia Calvin. Lembaga terakhir yang muncul ialah Gereformeerde zendingsbond
(GZB).
Para
pemuda yang melamar pada lembaga-lembaga pekabaran Injil karena ingin menjadi
zendeling, biasanya berasal dari kalangan rakyat kecil. Secara umum harus
dikatakan bahwa pada abad ke-19 adn ke-20, karya besar zendeling berasal dari
orang-orang kecil.
Gereja dan Zending di Jerman dan
Swiss
Dalam
zending Jerman kita menemukan corak yang serupa dengan yang terdapat dalam
zending Belanda. Ada sejumlah lembaga yang polanya berbeda-beda, dari yang
dekat dengan “Faith Missions” sampai yang mengikat diri kepada tradisi salah
satu gereja. Hanya karena soal hubungan gereja dan negara, maka di Jerman tidak
ada usaha pekabaran Injil oleh gereja-gereja sendiri, seperti yang sejak tahun
1860-an ada di negara Belanda. Sejarah lembaga-lembaga di Jerman pada umumnya
lebih tenangdaripada di negeri Belanda. Tidak ada peristiwa dramatis seperti
yang dialami NZG pada tahun 1858-1864, karena tidak ada juga pergeseran yang
menonjol secara theologis.
Pendekatan
kepada gereja, seperti yang terdapat pada sejarah zending Belanda sejak tahun
1900, dikalangan RMG baru lah berlangsung setelah 1945. Ikut sertanya lembaga
Jerman dan Swiss dalam karya zending di Indonesia memperlihatkan usaha pekabaran Injil dan merupakan bantuan besar
bagi zending Belanda yang sangat terbatas tenaganya.
Gereja Protestan di Hindia-Belanda
Dalam
abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20, ikatan antara Gereja (GPI) dan negara adalah sama eratnya seperti pada zaman VOC ,tetapi
mengalami kerugiaan sama saja. Dan lingkungan-lingkungan pelayan gereja
dimasuki suasana kepegawaiannya. Gereja merasa betah dalam keadaan itu,
sehingga pemerintahlah yang harus menganjurkan perubahan dan perubahan itu
berhasil ditunaikan dengan baik. Hanya karena sejak akhir abad ke-19, GPI
mengalami pembaruan secara batin yang menyatakan diri dalam berbagai hal (
adanya usaha pekabaran Injil, perbaikan dalam hal pelayanan kepada Indonesia,
meningkatnya peranan anggota jemaat misalnya dalam hal memilih majelis,
peningkatan pendidikan tenaga pribumi, perhatian lebih besar bagi nilai
pengakuan iman Kristen). Jemaat-jemaat pribumi di Indonesia Timur dalam abad
ke-20 mulai mengikhtiarkan agar dapat berdiri sendiri. Mula-mula, pimpinan
Eropa tidak bersedia untuk memenuhi keinginan itu, tetapi sekitar tahun 1930
dalam hal ini pun sempat diambil langkah-langkah yang menentukan. Proses
pelepasan GPI dari negara di percepat oleh peristiwa-peristiwa pada masa perang
dan selesai pada tahun 1950. Pada masa yang sama juga, semakin pudarlah ikatan
yang tinggal antara gereja-gereja bagian yang lahir dari PGI.
Gereja di Maluku sejak tahun 1864
Gereja
Protestan di Maluku mengalami perkembangan dari sekelompok jemaat di salah satu
pelosok gereja kolonial menjadi Gereja Protestan di Maluku, suatu gereja
Indonesia yang berdiri sendiri. Yang memungkinkan perkembangan itu adalah
perubahan lahir dan batin yang telah berlangsung selama abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Jemaat-jemaat menerima penggembalaan yang semakin intensif oleh
korps pelayan yang semakin besar dan berpendidikan baik. Pun jemaat-jemaat itu
semakin giat dalam menjalankan kehidupan gereja dan semakin sadar bahwa gereja
itu merupakan perkara mereka sendiri. Pada tahun 1935, usaha yang telah
dirintis oleh Joseph Kam dan yang telah dilanjutkan oleh begitu banyak orang
Maluku dan Belanda itu akhirnya sampai kepada tujuan, meskipun hasil yang
diperoleh saat itu tak bisa tidak bersifat sementara. Ditengah pergolakan masa
Jepang dan masa kemerdekaan, perkembangan ke arah gereja yang dalam hal
organisasi dan dalam hal adat-kebiasaan berbeda dari dunia sekitarnya itu
berjalan terus.
Gereja di Minahasa dari
penyerahannya kepada GPI
Dalam
masa 1875-1935, kekristenan di Minahasa mula-mula mengalami kemacetan dalam
perkembangannya menuju gereja yang berdiri sendiri. Akan tetapi, berkat
perubahan yang te jadi di kalangan orang Minahasa sendiri maupun dalam
lingkungan pimpinan gereja berkebangsaan Belanda, maka akhirnya tujuan itu
tercapai juga. Selama masa itu, di Minahasa sering terdapat suasana tegang
antara empat unsur yang penting: zending, gereja (GPI), pemerintah dan
tokoh-tokoh Minahasa yang sudah aktif dibidang politik dan gereja. Ketegangan
itu membawa banyak kesulitan, tetapisempat menjadi pula pencetus pendobrakan
kemacetan tersebut.
Yang
penting juga ialah: pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya zending dan
gereja, telah mulai melihat bahwa berdiri sendiri itu bukanlah tahap terakhir
dalam perkembangan orang Kristen Minahasa menuju kekristenan yang sempurna,
melainkan titik-tolak pertumbuhan rohani dalam menghadapi tantangan-tantangan
dalam lingkungan sendiri. Dalam masa Jepang dan dalam tahun 1950-an dan
1960-an, GMIM menghadapi tantangan yang baru. Dalam menjawab tantangn itu,
tokoh pe ndeta Wenas memainkan peranan yang sangat penting. Sama seperti
sejumlah besar gereja-gereja Indonesia yang lain, GMIM ragu-ragu memilih antara
sentralisasi dan desentralisasi dalam hal urusan gereja.
Gereja di Nusa Tenggara Timur sejak
1860-an
Sampai
tahun 1900, Gereja di Nusa Tenggara Timur tidak berhasil menembus batas-batas
daerah yang telah berlaku sejak abad ke-18. Baginya, masa 1910-1940 merupakan
masa perluasan, khusus di pulau-pulau Timor dan Alor. Perluasan ini merupakan
akibat langsung dari meningkatnya semangat pekabaran Injil dalam GPI. Maka
polanya juga sama dengan yang berlaku di daerah-daerah GPI lainnya: baptisan
massal, pemisahan sakramen. Begitu pula kejadian berikut yang penting dalam
sejarah gereja di Timor, yaitu tindakan-tindakan yang menjadikan gereja ini
sebagai gereja yang berdiri sendiri, berkaitan erat dalam kesadaran bergereja
GPI pada yahun 1930-an.
Bahkan
dapat dikatakan bahwa perkembangan di Timor, khusus dalam tahun 1930-an, lebih
banyak merupakan hasil kejadian di luar Timor daripada hasil dari orang Timor
sendiri. Akibatnya pada tahun 1947 GMIT berdiri sendiri secara lahir, tetap
belum siap secara batin. Gerakan Roh
pada tahun 1965-1969 merupakan peristiwa yang penting dalam kehidupan GMIT, khusus daerah Timor Tengah Selatan,
tetapi agaknya gerakan tersebut tidak banyak membantu gereja dalam usaha
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya.
Pekabaran Injil dan Gereja di Irian
Jaya
Setelah
membaca bagian ini, ada beberapa hal yang penting. Pertama, bahwa perbedaan
antara metode Gossner-Heldring dengan metode UZV merupakan perbedaan tingkat,
bukan perbedaan asasi. Kedua, dalam beberapa hal – sikap kepada kebudayaan
setempat, pembangunan organisasi gereja – perkembangan di Irian agak terlambat,
dibandingkan sejumlah daerah lainnya. Melihat keadaan di Halmahera adalah sama
juga, maka dapat ditanyakan apa yang menjadi sebabnya: keadaan di lapangan,
yakni taraf kemajuan orang Irian dan jarak-jarak yang jauh, ataupun pola
berpikir dan pola kerja UZV? Ketiga, yang sedikit menghibur ialah: bahwa yang
menentukan berhasil tidaknya suatu karya pekabaran injil bukanlah metode yang dipakai, melainkan lebih
banyak kekuatan Injil sendiri ditambah kasih dan kesetiakawanan yang dipupuk
oleh Injil itu.
Pekabaran Injil dan Gereja di
Halmahera dan Buru
Sama
seperti di Irian, begitu pula di Halmahera pada masa permulaan pekabaran Injil
sampai tahun 1930-an dapat dibagi menjadi dua. Masa pertama ditandai oleh
metode konsentrasi dan kurang membawa hasil yang nyata. Masa kedua ialah masa
ekspansi. Istilah ekspansi (perluasan) itu menyangkut daerah pekabaran Injil
serta jumlah orang Kristen maupun cara pekerjaan itu ditangani. Dalam hal
metode, terdapat perbedaan besar pada kedua babak itu, walaupun perbedaan itu
tidak bersifat mutlak.
Dalam
masa 1942-sekarang, ekspansi berlangsung terus. Pun dalam masa ini gereja
Halmahera mandiri, orang Halmahera mengambil- alih pimpinan dalam gereja dari
orang Belanda dan Ambon, dan mereka menyelesaikan tugas mengabarkan ini pada
teman sesukunya yang belum menerima Injil. Namun demikian orang Kristen
Halmahera ternyata telah menyadari, bahwa laingereja lain masyarakat suku. Hal
ini terbukti dari kebijaksanaan yang diambil dalam hal nama dan organisasi
gereja dan dari sikap terhadap adat.
Pekabaran Injil dan Gereja-gereja
di daerah Sulawisi Utara (di luar Minahasa)
Di kepulauan Talaud pada tahun 1850,
keberadaan orang Kristen disana sudah tidak ada lagi. Akan tetapi di Sangir
tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan gedung gerejanya dan sekolah.
Mula-mula penduduk Kristen di Sangir agak bersikap negatif kepada para
zendling. Di Sangir mereka tidak melakukan disiplin gerejawi, hal itu bisa kita
tahu karena banyak penduduk disana melakukan poligami dan sebagainya. Namun
dengan waktu yang relatif kebiasaan jemaat berhasil dirubah ,semenjak
kedatangan para zendling dan angota sidi meningkat menjadi ribuan, dan kebiasan
poligami pun hilang juga.
Pekabaran Injil dan Gereja-Gereja
di Sulawesi Tengah
Dalam
sejarah pekabaran Injil di Poso, muncullah beberapa ciri khas: perhatian besar
terhadap agama dan kebudayaan asli, usaha sejauh mungkin untuk menerima
unsur-unsur kebudayaan asli itu kedalam tata kehidupan yang baru, kesabaran
besar dalam menunggu hasil. Ciri-ciri ini akhir abad ke-19 terdapat juga pada
daerah-daerah pekabaran Injil yang lain, tetapi lebih menonjol di Poso, akibat
sikap yang diambil Kruyt terhadap orang-orang Poso dan kebudayaannya. Dengan
demikian dalam lingkungan zending Belanda, Sulawesi Tengah dianggap daerah
teladan, dan pasangan tokoh Kruyt dan Andriani menjadi tokoh yang sangat
berpengaruh. Namun dalam beberapa hal, pandangan mereka tidak cukup luas,
seperti yang menjadi nyata dalam organisasi gereja dan usaha dibidang
kesehatan.
Pekabaran Injil dan Gereja-Gereja
di Kalimantan sejak tahun 1860-an
Usaha
zending di Kalimantan sudah dimulai sejak awal, kira-kira bersamaan waktu
dengan yang di Jawa serta Sulawesi dan sebelum yang di Tapanuli. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pekabar Injil di Kalimantan, dan jugan dibandingkan dengan
Tapanuli antara lain; pertama faktor objektif, yaitu bahwa Kalimatnan
berpenduduk jarang, sedangkan Tapanuli justru padat.
Harapan
zending ialah supaya yang berada di pedalaman dapat di Kristenkan seluruhnya,
sehingga suku Dayak dapat dicantumkan dalam satu gereja suku yang besar, sama
seperti yang terjadi pada orang Batak di Sumatera Utara dan dengan orang
“Toraja” di Sulawesi Selatan. Tetapi harapan itu tidak berjalan dengan baik,
karena di Kalimantan tidak sampai terjadi pertobatan massal. Maka di
Kalimantan, Gereja Kristen tetap merupakan suatu minoritas kecil, yang terbagi
atas beberapa lembaga gereja.
Usaha pekabaran Injil oleh RMG di
Sumatera Utara dan gereja-gereja yang dihasilkan olehnya
Didalam
semua gereja yang merupakan hasil karya RMG, kathekismus Luther menjadi bahan
dasar dalam pendidikan agama, sebagai ganti katekismus Heidelberg. Umur
anak-anak yang mengikuti katekisasi dan melakukan sidi biasanya 14-15 tahun,
yaitu lebih muda daripada dalam gereja-gereja lain (tetapi mereka mendapat hak
memilih dn dipilih barulah sesudah menjadi dewasa). Usaha pekabaran Injil di
Sumatera Utara mula-mula dirintangi oleh keadaan politik. Pekabar-pekabar Injil
pertama yang berhasil masuk terpaksa menetap di pinggir Tanah Batak.
Tetapi
di bawah pimpinan Nommensen, karya pekabaran Injil menembus ke jantung
daerah-daerah yang masih murni menganut agama suku. Dalam perjumpaan dengan
sistem sosial-budaya orang Batak, Nommensen mengembangkan pendekatan menyeluruh
yang membawa kepada didirikannya gereja rakyat (gereja suku). Tetapi sejak
1927, kesatuan gereja suku itu terpecah. HKBP dan gereja-gereja asal RMG
lainnya menunjukkan ciri khas yang membedakannya dari sebagian besar
gereja-gereja lain di Indonesia.
Pekabaran
Injil non RMG dan Gereja-gereja yang tumbuh darinya diSumatera Utara.
Selain
oleh RMG, injil di bawa ke Sumatera oleh NZG dan oleh Gereja Methodis dari
Amerika. Kegiatan mereka terutama berlangsung dibagian timur Sumatera Utara. Di
Sumatera kebanyakan orang Karo tetap berpegang pada agama tradisional. Penganut
agama suku menciptakan organisasi yang hendak memilihara warisan religous yang
diturunka oleh nenek moyang yakni organisasi “ merga silima”.Di Sumatera bukan
hanya zending Belanda yang mengabarkan Injil namun ada beberapa gereja-gereja
yakni gereja Katolik Roma, sejumlah besar gereja pentakosta, dua gereja
Adventus, Bala Keselamatan, dan Kemah Injil.
Pekabaran
Injil dan Gereja di Nias dan pulau-pulau lain lepas Pantai sumatera (1865-
sekarang)
Selama
25 tahun pertama usaha PI di Nias tetap terbatas hanya pada daerah kekuasaan
Belanda. Pada hari raya paskah 1874 pertama kali dilakukan baptisan pertama
kepada 25 orang Nias. Pekabaran Injil di Nias, bukan hanya pada Nias sendiri
namun pada pulau-pulau sekitaran Nias. Setiap gereja selalu di pimpin oleh
kepala suku. Di Nias terbentuklah BNKP dan ONKP. Di kepulauan Batu Mentawai
sebelum mendapat injil, mereka tergolong dalam sebutan kafir, maka RMG mengirim
seorang zendeling, Auugust Lett namun Ia di bunuh. Atas bantuan guru-guru serta
pendeta-pendeta batak, berhasil menderikan sejumlah jemaat Gereja Kristen
Protestan Mentawai (GKPM)
Pekabaran Injil dan Gereja di
Jakarta dan di Jawa Barat sejak tahun 1870-an
Di
Jawa Barat, Injil dibawa oleh beberapa badan dan orang-perorangan. Oleh karena
itu, dan oleh karena penduduknya banyak yang datang dari daerah lain maka di
daerah tersebut, khususnya daerah Jakarta, terdapa sejumlah besar gereja Kristen.
Dua diantaranya yang dapat dikatakan “pribumi”, karena beranggotakan orang yang
sudah tinggal didaerah itu turun-temurun, yaitu GKP dan GKI-Jabar. Tetapi
jemaat-jemaat para pendatang itu ada yang lebih besar dari pada gereja
“pribumi” tersebut, seperti HKBP dan GPIB.
Pekabaran Injil dan gereja-gereja
di Jawa Tengah sejak tahun 1870-an
Di
Jawa Tengah, agama Kristen pertama kali dibawa oleh orang-orang Eropa
perorangan dan diteruskan oleh orang Jawa sendiri. Sesuai suasana kolonial abad
ke-19, lembaga-lembaga pekabaran Injil dari Eropa menganggap perlu menampung
dan mengasuh kelompok-kelompok Kristen Jawa itu. Tiga lembaga yang masuk ke
Jateng masing-masing mewakili denominasi tersendiri: mennonite,
Kongregasionalis, Calvinis. Maka berlainan dengan keadaan di Jabar dan Jatim,
di daerah Jateng berdiri tiga, bahkan lima gereja “pribumi”,disamping
jemaat-jemaat pendatang (HKBP, GPIB) dan gereja-gereja lain yang tak terbatas
pada daerah itu, seperti Pentakosta dan lain-lain.
Pekabaran Injil Dan Gereja Di Jawa
Timur Dan Bali Sejak Tahun 1870-An
Pada
tahun 1870-an proses penampungan kekristenan jawa oleh lembaga-lembaga zending
Eropa untuk Jawa Timur sudah selesai. Tahun 1879-1910 perkembangan dilakukan
menurut garis yang telah ditetapkan zending yaitu, a. zending lebih
memperhatikan desa daripada kota, b. penyelenggaraan karya pI sebagai karya
pendidikan. Dan ketika itu dimulailah pekabaran injil di Madura di pantai Utara
Jawa Timur yang kemudian bersatu dengan NZG dikalangan suku Jawa. Tetapi pada ±
tahun 1910 para zending mendapat tantangan yaitu seperti bangkitnya gerakan
nasional dikalangan orang jawa.
Tahun
1920-an merupakan hasil saling mempengaruhi antara para zendeling dan orang
Kristen Jawa. Pada tahun 1923 Mojowarno berdiri sendiri. NZV di Jawa Barat
berbeda dengan NZG di Jawa Timur yang tidak bekerja dengan lingkungan orang
Tionghoa. Akibat dari peristiwa pembunuhan seorang zendeling membuat pemerintah
Belanda melarang kegiatan pekabaran Injil di Bali. Pada tahun 1929, Injil masuk
di bali dengan cara yang tak terduga. Seorang penginjil CAMA dari tiongkok
daratan bernama Tsang Kam Fuk. Pada tanggal 11 November 1931, 12 orang bali
dibaptis.
Pekabaran Injil dan Gereja di Sumba
Sampai
abad ke 19 sumba belum dipengaruhi oleh Belanda. Daerahnya terbagi atas
sebagian besar kerajaan. Orang sumba tidak menganut agama Islam melainkan Agama
Suku yang mereka sebut sebagai agama Marapu (Marapu=Dewa, Roh). Permulaan agama
Kristen di Sumba merupakan hasil upaya Ressiden Esser Kupang. Pada tahun 1881,
mengutus seorang zendeling yang bernama J.J Van Alphen ke sumba. Misi menetap
dilakukan di sumba pada tahun 1931. Pada 1902 sumba menjadi lapangan
jemaat-jemaat Gereformeerd di Belanda Utara. Pada tahun 1915, terjadi baptisan
pertama di Sumba.
Hanya
jemaat orang sawu yaitu jemaat Kambaniru yang dinyatakan berdiri sendiri pada
tahun 1916. Dan jemaat Sumba berdiri sendiri pada tahun 1937. Ketika itu sudah
ada 4.000 orang Kristen. Perang Dunia II juga membuat GKSS menjadi mandiri.
Pada Maret 1942 dua orang guru Injil Sumba ditahbiskan menjadi pendeta. baik
sebelum dan sesudah perang Dunia II masih banyak tantangan Khusus. Sumba
merupakan daerah yang sulit bagi zending karena adanya factor kesukuan dan karena
ketidakamanan pada tahun 1912.
Gereja-gereja Pentakosta
Gereja
Pentakosta merupakan Gerakan yang timbul dari Amerika Utara pada tajun 1906.
Gerakan ini merupakan salah satu tunas “Holiness Movement” (Gerakan Kesucian)
yang timbul di dalam gerakan Metodist dalam priode abad ke-19. Gerakan ini
masuk ke Indonesi dengan tidak adanya perencanaan. Pada tahun 1923,
penginjil-penginjil pentakosta yang berada di Indonesia mendirikan badan “De
Pinkstergemeente in NOI” dan mulai 1942 disebut “Gereja Pentakosta di Indonesi”
(GPDI). Sekitar tahun 1950 muncul “sidang Jemaat Allah di Indonesia”.
Yang
mencapai tersebar adalah pentakosta. Mereka pada umumnya bekerja di kota-kota dan
ditengah-tengah orang yang sudah masuk Kristen sebelumnya. Yang paling
diutamakan ialah usaha penginjilan secara langsung. Jumlah orang Pentakosta di
Indonesia sangat besar, tetapi gereja mereka pecah belah akibat perpecahan yang
merajalela antara tahun 1930 dan 1970.
Sejarah Gereja-gereja dari rumpun Kemah Injil
Gereja
yang termasuk rumpun “kemah injil” berakar dalam gerakan “Alliance” yang lahir
di Amerika Serikat pada tahun 1880-an. Ajaran CAMA dapat disebut “Injil rangkap
empat” yaitu, “Kristus menyelamatkan, Menyucikan, menyembuhkan dan datang
kembali sebagai Tuhan”. Dalam waktu singkat CAMA telah mengirim penginjilnya ke
segala Benua. Dalam waktu beberapa tahun juga ia telah membuka pekabaran injil
di Makassar, Bali, Lombok, Sumbawa, Kaltim, Kalbar, Sumatera Selatan dan
pedalaman Iran.
Pada
tahun 1942 semua pekabar Injil ditawan Jepang. Meskipun demikian seusai perang
karya CAMA di Indonesia mengalami pertumbuhan dalam berbagai hal. Pada tahun
1965 gereja yang beraliran CAMA mengadakan koferensi di Makassar. Ciri khas
GKII/CAMA ialah : 1. Dalam hal eklesiologis,
2. Dalam hal hukum kelakuan, 3.tidak memiliki jaringan lembaga umum.
Sejarah Gereja-gereja dari Rumpun
Baptis
Aliran
Baptis timbul di Inggris sekitar tahun 1600. Ciri khasnya ialah penolakan
terhadap pembaptis anak. Pada tahun 1792, atas prakarsa salah seorang pendeta
Baptis yang bernama William Carey, didirikanlah Baptist Missionary Society.
Peristiwa ini menandai permulaan sejarah usaha pekabaran Injil modern. Pada
tahun 1950, tenaga utusan kovensi Baptis Selatan dari Amerika Serikat harus
meninggalkan negeri Tiongkok setelah kaum komunis mengambil alih kekuasaan di
situ. Pada tahun 1951 mereka dialihkan ke Indonesia.
Di
Irian berdiri badan Baptis besar lain lagi, yaitu persekutuan Gereja Baptis di
Irian Jaya (PGBIJ). Pada tahun 1962 dilakukan pembaptisan pertama. Empat bulan
kemudian orang yang dipabtis dibunuh oleh kelompok yang berperan dalam
kehidupan tradisional. Selain itu masih ada juga sejumlah kelompok baptis yang
lebih kecil. Mereka bekerja sama dengan aliansi Baptis. Pada tahun 1995, orang
Baptis di Indonesia berjumlah 100.000 jiwa lebih.
Bala Keselamatan
Bala
keselamatan didirikan pada tahun 1878 di
London oleh William Booth. Tidak lama setelah Bala Keselamatan mendirikan
cabang di Belanda, yang akhirnya menjadi induk Bala Keselamatan diIndonesia.
Pimpinan Koloni Salib Putih di salatiga memandang perlu menciptakan sarana
transmigrasi bagi penghuni koloni itu. Tahun 1948 di Indonesia terdapat 3.500
lebih perwira Bala Keselamatan, dengan 60.000 anggota, yang terbagi atas 4
divisi dan 7 distrik. Tiap jemaat setempat disebut “korps”. Tiap hari minggu
pagi diadakan kebaktian, yang disebut “kabaktian kesucian” sebab hendak
mengantar umat Allah ke kesucian. Dan tiap minggu malam diadakan “kebaktian
tebusan”, dengan maksud agar dalam kebaktian itu orang yang belum bertobat
mendapat tebusan.
Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh
Gereja
Advent Hari Ketujuh berakar dalam sebuah gerakan yang terjadi di Amerika
Serikat sekitar tahun 1820. Hal yang paling diutamakan adalah unsur eskatologi
(penantian kedatangan kembali Kristus).
Gerakan Adventis masuk ke Indonesia pertama kali tahun 1900. Pada masa
itu pemerintah masih melarang pekabar Injil ganda, sehingga usaha untuk membuka
karya pekabar Injil di Sukabumi dan Bandung gagal. Kemudian Gereja Advent masuk
ke Minahasa, Maluku, Tapanuli, Lampung dan Kalimantan.
Pada
tahun 1995 Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia berjumlah sekitar
110.000, dalam 900 lebih jemaat. Mereka tergabung dalam Uni Indonesia, yang
terbagi atas sejumlah distrik. Tiap jemaat dilayani oleh penatua jika di jemaat
itu tidak memiliki pendeta. Uni Indonesi mengutus wakil-wakilnya ke
sidang-sidang wilayah Timur Jauh dan ke Gerenal Conference di Washington, yang
merupakan badan pusat Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh.
Tinjauan umum atas periode
1860-1942; A. Para zendeling, karya dan kebijakan mereka
Jumlah
tenaga kerja zending dari Eropa jauh lebih banyak daripada sebelumnya.
Mengalami kemajuan besat diantara tahun 1860-1940. Sejalan dengan pertambahan
jumlah tenaga, daerah tempat usaha pekabaran Injil diselenggarakan bertambah
luas. Tahun 1850 daerah itu mencakup Maluku tengah dan Minahasa. Pada 1938
dijalankan usaha pekabaran Injil di seluruh Indonesia Timur, Sulawesi, Kalimantan,
Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera selatan serta Sumatera Utara. Zending juga
mergerak di bidang ekonomi. Alasannya untuk melakukan kegiatan di bidang ini
karena melindungi penduduk desa yang miskin.
Pada
masa sesudah tahun 1870 pemikiran dan praktik zending semakin dipengaruhi oleh
aliran teologis “etis”. Teologi ini pun berminat akan perkembangan kehidupan
beriman dalam diri orang Kristen. Jika kehidupan gereja, sama seperti kehidupan iman di dalam
gereja masing-masing, harus melalui proses pertumbuhan yang akhirnya membawa ke
kematangan, maka kemajuan yang sudah dicapai di dalam proses yang dapat diukur.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sama seperti suasana zending. Sampai
tahun 1930, tidak satu pun gereja oleh zending dinyatakan mandiri.
Dampak
pengaruh teologi etis terhadap kebijakan zending dapat kita temukan juga dalam
perkembangan status tenaga zending berkebangsaan Indonesia. Kenyataan ini
disebabkan pertimbangan yang sudah disebut bahwa para penghantar jemaat
dianggap belum matang. Hubungan antara zending dengan system colonial di
Hindia-Belanda tidak mungkin dilukiskan dengan memakai hanya satu warna saja.
Sampai akhir masa ini zending tidak berhasil melepaskan diri secara tuntas dari
pengaruh pemikiran barat yang telah ikut mewarnai pola kegiatannya selama itu.
Tinjauan umum atas Periode
1860-1942; B. Orang-oramg Kristen Protestan Indonesia
Pada
tahun 1938, agama Kristen sudah tersebar ke seluruh wilyah nusantara, walaupun
belum secara merata. Dilihat dari sudut pandang rakyat, zending tetap bersekutu
dengan penguasa colonial; alasan psikologis bahkan kini lebih kuat lagi
disbanding abad ke-19, disebutkan pengaruh semakin terasa bahkan sampai ke
pelosok. Pada masa ini orang masuk Kristen bukan karena terpaku oleh pribadi
dan pesan zendeling barat itu, melainkan karena pertimbangan dari mereka
sendiri. Kadang-kadang gejala sinkretisme itu menjelma dalam gerakan mesianis.
Pemerintah
tidak menunjang kegiatan zending secara langsung sebab Negara netral tidak
mungkin mendukung pekabaran Injil. Namun zending menerima bantuan secara tidak
langsung. Dalam usaha mengabarkan Injil, para utusan Injil Eropa didampingi
oleh sejumlah besar tenaga Indonesia. Hasil pengamatan zending : ikatan yang
menghubungkan orang-orang hidup dengan nenek moyang sangat susah, iman Kristen
tidak berhasil mempengaruhi adat, iman Kristen dianggap pola pemikiran lama dan
iman Kristen sempat disebut mitos.
Gereja-gereja di Indonesia pada Masa Jepang
(1942-1945)
Pada
tahun 1941 jepang menyerang Amerika Serikat dan dalam waktu singkat mereka
berhasil menundukkan seluruh asia tenggara termasuk Hindia-Belanda. Keadaan
gereja-gereja di Indonesia pada permulaan masa Jepang dapat digambarkan sebagai
berikut : orang Belanda masih menduduki tempat penting dalam badan pimpinan
pusat, pelayan gereja ada yang telah menjadi pengurus sinode, gereja pada
umunya belum berdiri sendiri, belum berhasil didirikan organisasi gerejawi
tingkat nasional dan sikap orang Kristen terhadap para pemimpin gereja bangsa
Belanda berbeda-beda.
Pada
permulaan masa jepang, sebagian besar orang Kristen di Indonesia sudah
mengalami kemandirian. Pada masa perang, tindakan orang jepang menghadapkan
orang Kristen pada tantangan yang hebat di bidang kerohanian, kepemimpinan dan
keuangan. Kebanyakan penghantar jemaat dan orang Kristen meneruskan kehidupan
dengan sebaik-baiknya. Selama masa
jepang, organisasi gereja tidak dapat berjalan dengan lancar, tetapi
kehidupan jemaat berlangsung terus dan kesadaran jemaat bertambah besar.
Tinjauan Umum : Gereja-gereja di Indonesia,
1945-sekarang
Setelah
Indonesia merdeka jumlah Gereja di Indonesia bertambah dan kekristenan beragam.
Ketika zending meninggalkan anak asuh mereka, mereka sudah meninggalkan tata
gereja yang bersifat Presbiteral. Permasalahan yang dialami gereja di bidang
keuangan langsung berhubungan dengan para zendeling. Dalam hal tata kebaktian,
yang paling mampu bertahan ialah warisan para zendeling yang berpola Calvinis
atau Lutheran atau juga Kebangunan. Dalam hal pengakuan iman, zending dan
gereja-gereja continental telah bertindak dengan sangat hati-hati.
Hal
yang dilakukan orang Kristen Indonesia yang paling sering ialah memberitakan
Injil. Sebab para Pendeta Eropa tidak ungkin mengabarkan Injil sendirian untuk
daerah yang begitu luas. Dalam hal Oikumene, persaudaraan dan kerja sama anatr
sesame Kristen telam menciptakan wadah se-indonesia. Pada saat itu hubungan
dengan gereja-gereja induk di Eropa tetap terpelihara. Di samping ikatan dengan
gereja induk, gereja-gereja di Indonesia sejak tahun 1950-an menjalin hubungan
dengan gereja-gereja lain. Setelah tahun 1945 jenis kesalehan yang telah
diwariskan para penginjil dari Eropa tetap menjadi dasar kerohanian.
Pendidikan Pelayan-Pelayan Gereja
Dan Perkembangan Ilmu Teologi Dalam Abad Ke-19 Dan Abad Ke-20
Sejarah
pendidikan pelayan gereja berlangsung tiga tahap. Yang pertama, pendidikan
dalam lingkungan rumah Zendeling. Yang kedua, lembaga pendidikan guru atau guru
injil yang masih sederhana. Yang ketiga, dalam sekolah teologi. Dalam mendidik
calon-calon yang berada di rumah zendeling, para zendeling memakai cara yang berakar di bumi
Indonesia. Dalam hal lembaga pendidikan para zendeling mendirikan lembaga sekolah khusus untuk pendidikan pelayan
gereja. Dan dalam hal pendirian STT, sebelum STT didirikan gereja protestan
telah mengirim calon nya untuk belajar teologi di Eropa. Sampai tahun 1942 STT
itu menghasilakan 29 orang pendeta. Adanya STT dan lembaga pendidikan lain
memungkinkan timbulnya ahli-ahli teologi.
Gerakan Oikumenis di Indonesia
Selama
abad ke-17 dan 18 semua orang Protestan Indonesia sekarang tarmasuk satu Badan
Gereja, yaitu gereja gereformeerd, yang dipimpin oleh majelis jemaat di Batavia
dan berhubungan erat dengan pemerintahan VOC. Selama abad ke-19, upaya
mewujudkan keesaan Kristen dijalankan orang belanda semata-mata. Sampai perang
Dunia II, upaya menuju keesaan berkembang terus. Pada tahun 1906, lembaga pekabaran Injil di Belanda mendirikan
konsulat Zending selaku perwakilan tunggal dihadapan pemerintah Hindia Belanda.
Pada
masa jepang terjadi kegiatan Oikumenis yang sangat intensif. Tetapi pada waktu
itupun kegiatan itu merupakan hasil upaya orang asing. Kegiatan Misionaris
seusai Perang Dunia semua mengarah ke pembentukan Dewan Nasional seperti yang
sudah diusahakan pada tahun 1940. DGI dibentuk pada 1948 dan yang dapat menjadi
anggotanya ialah badan-badan gereja, itupun yang telah memenuhui syarat
tertentu. DGI/PGI menngemukakan catatan. Pertama, pengaruh tradisi badan-badan
Kristen oikumenis Internasional. Kedua,justru karena PGI menjadi penghubung
dengan dunia luar maka ada kemungkinan gereja tidak berjalan secara cepat.
Orang-Orang Kristen Di
Tengah-Tengah Masyarakat Indonesia
Factor
objektif yang ikut menentukan peranan dalam masyarakat. Pertama, jangan kita
lupa akan kenyataan bahwa sekitar tahun 1900 orang Kristen merupakan 1%
penduduk Indonesia. Terdapat pendorong orang Kristen untuk membangun masyarakat
dan bangsa Indonesia. Berbicara mengenai sumbangan orang Kristen mengenai
pendidikan sebelum tahun 1942 mengenai jaringan sekolah-sekolah yang
diselenggarakan oleh lembaga zending. Subsidi yang berasal dari pemerintah
biasanya disertai syarat, bahwa jadwal mata pelajaran harus sama dengan jadwal
sekolah-sekolah pemerintah.
Yang
membedakan sekolah zending dengan sekolah negeri ialah sekolah Kristen
merupakansaluran untuk pekabaran Injil dan lain sebagainya. Masa Jepang membawa
perubahan yang mendalam dunia pendidikan Kristen Indonesia. Sama seperti
kegiatan di bidang pendidikan, tidak bisa tidak menyertai pengabaran injil oleh
para utusan zending. Keikutsertaan mereka sepadan dengan jumlah mereka.
Gereja Katolik 1860-1900
Salah
satu hambatan terbesar bagi karya misi ialah pribadi raja Don Andre de Vieira
Godino suka minum candu. Pastor yang dulu bekeja di Sikka pada tahun 1891
menjajaki kemungkinan karya misi. Sejak tahun 1885-1890 mulai disadari bahwa
Serikat Yesus sendirian tidak sanggup lagi menangani segera karya misi di
Nusantara. Pada tahun 1889-1891 ada 16 imam baru datang. Tanggal 22 mei 1894
pastur Le Cocq mendarat di kapaur, di Teluk Berau. Penduduknya sedikit tapi
mereka menerima pastur dengan ramah-tamah. Pada tanggal 1 mei 1895 ia datang
lagi, disertai lagi,vdisertai dua bruder. Dari serikat Yesuit ada 50 imam dan
15 bruder di Indonesia.
Gereja Katolik 1900-1942 : Umum
Pada
tanggal 21 mei 1898 Edmundus Luypen SJ, pastor di Maumere sejak 1891. Salah
satu masalah terbesar yang dihadapi ialah perjanjian “Notader Punten” tahun
1847 yang hanya mengakui satu Vikaris Apostolik. Yang menarik perhatiannya
ialah pembedaan “geestelijke” dan “zendeling” yang berlaku bagi situasi
Protestan oleh pemerintah. Para waligereja masih bersidang empat kali sebelum
penyerbuan Jepang, yaitu pada tahun 1925, 1929, 1934 dan 1939. Imam-imam
Indonesia pertama berasal dari daerah karya Gereja Katolik yang termuda : Jawa.
Sampai tahun 1928 semua tamatan masuk Serikat Yesus. Pada tahun 198 ada yang
masuk ordo karmelit; pada tahun1929 ada yang masuk Ordo Kapusin.
1900-1942 : Daerah masing-masing
Pada
bulan Oktober 1896 tibalah di Semarang dua pastur baru yang dikhususkan bagi
pewartaan Injil di antara orang Jawa : Fransiskus Van Lith dan Petrus
Hoevenaars. Pada bulan oktober 1897 hampir segala harapan bagus untuk pekabaran
Injil hancur. Didirikannya Vikariat Apostolik Semarang merupakan pembagian di
Batavia yang terakhir sebelum masa Jepang tahun 1927. Sampai zaman jepang,
gereja katolik di Jawa Barat mayoritasnya belanda dan Indonesia. Di daerah
Jakarta hanya kampung sawah lah yang merupakan Paroki Pribumi. Di jawa barat,
biara yang pertama ialah santa clara. Di Bandung 2 paroki yang berdiri di
bandung sejak tahun 1878. Di Purwokerto, tiga pater yang bekerja di keuskupan
purwokerto. Di Surabaya dan Malang, tahun 1923 karya gereja di daerah ini
diserahkan kepada ordo karmel dan kongresi misi. Di padang, didirikan sekolah
pertama untuk anak Tionghoa. Di Tanah Batak, pekabaran injil dilakukan dengan
cepat, intensif dan ekspansif. Di Nias, 8 tahun gereja di Nias hidup tanpa
imam. Di Bengkulu, 27 desember 1923 menjadipos misi pekabaran Injil. Dan masih
banyak lagi di daerah lain.
Perang Dunia II dan Perjanjian Jepang
pada
bulan Desember 1948 dilancarkan aksi polisionil II oleh belanda, keadaan di
Muntilan menjadi kacau, pamong praja melarikan diri, ada kekosongan pemerintah.
Situasi ini digunakan untuk mengajak pastur di kolese untuk berunding di masjid
kauman. Di luar mutillan mereka frater
herman dan room Richardus dibunuh dengan sadis. Hari itu 19 Desember. Tak lama
setelah itu kompleks muntilan dimusnahkan oleh kelompok yang sama.
1860-1945 Selayang Sepandang
Dari
semula kerasulan diantara penduduk pribumi mendapat perhatian besar, tetapi
baru sekitar tahun 1860 jumlah pastur mulai melebihi 10 orang. Karya misi akan
berkembang terutama di daerah Flores, Timor Tengah, Kei dan Minahasa. Penempatan
tenaga pekabaran Injil tidak merata. Ada empat hal yang penting artinya untuk
orang Katolik yaitu: 1. Persatuan politik katolik Indonesia, 2.sukarno dapat
mengerti dan mengetahui peranan Gereja katolik dengan jelas, 3. Tahun 1940
Alb.Soegijapranata diangkat menjadi uskup Semarang, 4. Kesetimbangan sifat
Nasional dan Internasional Gereja Katolik.
Masa Republik Indonesia : Beberapa
Angka
Pada
tahun 1534 raja mamoya, kampung utama di moro, Halmahera utara dipermandikan.
Peristiwa itu dipandang sebagai permulaan gereja Katolik di Nusantara. Pada
tahun 1984 diperingati ke-450 tahun. Sampai akhir 1960 wilayah Indonesia dibagi
menjadi sejumlah Vikariat Apostolik. Pada tanggal 3 januari 1961 paus Yoanes
XXIII mendirikan hierarki di Indonesia. Sejak kemerdekaan kongresi baru
didirikan. Kalau sebelum kemerdekaan masih ada orang yang bisa menganggap bahwa
masuk Kristen katolik itu agak sama
dengan masuk Belanda. Pandangan seperti ini tidak sama sekali dapat
dipertahankan. Kebanyakan misionaris kini sudah menjadi warga Indonesia. Dari
34 keuskupan tinggal 8 yang uskupnya belum seorang putera pribumi.
Comments
Post a Comment
no SARA NO pornografi