laporan buku ragi cerita II


A.    Identitas Buku
Judul Buku    : Ragi Carita 2
Pengarang       : Dr. Th. Van den End dan Dr.J.Weitjens, S. J
Penerbit          : BPK Gunung Mulia
Cetakan          : 11
Halaman          : 439 halaman
B.     Pendahuluan
Ragi Cerita 2 ini merupakan jilid kedua, yang dimana membicarakan sejarah gereja di Indonesia periode 1860-an hingga masa kini, dan jilid yang pertama telah terbit dengan judul Ragi Cerita 1. Melalui buku ini kiranya gereja-gereja di Indonesia makin memahami dirinya dan menjadikan dirinya relevan di tengah masyarakat Indonesia.
Sekitar tahun 1870 mulailah babak baru dalam sejarah gereja di Indonesia, karena terjadi perubahan diberbagai bidang. Perubahan tersebut terkhususnya dibidang zending dan gereja, usaha pekabar Injil meluas dan jumlah para zendeling bertambah dan pendidikan mereka ditingkatkan. Para zendeling ini mulai terbuka dan kebudayaan pribumi, sehingga sikap mereka terhadap adat menjadi positif. Begitu pula kelompok-kelompok orang Kristen yang ada di Indonesia mulai diakui sebagai jemaat-jemaat dan diberi organisasi gerejawi, dan pada abad ke 20 jumlah orang Kristen meningkat pesat karena mereka mulai melakukan sifat yang terbuka.
`Dalam sejarah nasional, tahun 1942 dan 1945 merupakan akhir suatu zaman dan permulaan babak baru dalam sejarah Indonesia. Pada masa itu sebagian besar gereja mulai berdiri sendiri, sementara pola pemerintah yang sedikit banyak bersifat hierakis, diganti dengan sistem prisbeterial.
C.    Isi
Masa jaya sistem kolonial. Pergerakan Nasional (1870-an – 1930-an)
Sekitar tahun 1870, mulai suatu zaman yaitu “imperialisme baru dan pada saat itu juga terjadi peluasan wilayah jajahan oleh VOC. Melalui kegiatan pemerintah dan pengusaha-pengusaha swasta, juga oleh kegiatan zending dan misi, kehidupan rakyat Indonesia semakin diresapi pengaruh dari barat, di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu pengetahuan. Sampai tahun 1870, luas kekuasaan dari Belanda belum banyak bertambah ketimbang yang ada pada masa VOC. Namun, Belanda menganggap diri berhak untuk sewaktu-waktu campur tangan dalam negara yang setengah-berdaulat itu apabila menyangkut kepentingan Belanda.
Hanya sebagian wilayah Hindia-Belanda yang langsung berada dibawah pemerintahan orang-orang Belanda. Sistem tanam paksa yang berangsur-angsur dihapuskan, diganti dengan sistem ekonomi Liberal. Hindia-Belanda dibuka untuk pengusaha-pengusaha swasta, khusus untuk yang berkebangsaan Belanda. Pada bidang perhubungan, pertanian, pendidikan dan kesehatan, pemerintah suka menggunakan jasa lembaga-lembaga swasta nbersubsidi, khusus Zending dan Misi, karena cara itu lebih murah.
Pemerintah Belanda terdorong oleh pertimbangan moral dan ekonomi. Pertimbangan moral dianjurkan oleh beberapa tokoh di negeri Belanda sendiri yang menyatakan bahawa orang-orang Belanda telah menghisap habis darah orang-orang Indonesia dengan sistem tanam paksa. Sehingga Belanda harus membayar kembali “utang” tersebut; hal ini disebut “Ethische Politiek” (Ethische = moral, susila). Namun hal ini bukan berarti Indonesia merdeka, tapi kerjasama oleh dua golongan yang setaraf.Namun pada tahun 1920-an, cita-cita Ethisce Politiek tidak mungkin terlaksana. Kebanyakan orang Belanda tidak mau menyerahkan kepada orang-orang Indonesia walaupun hanya sebagian dari kekuasaan politis dan ekonomis yang dipegangnya. Pergerakan Nasional bertolak dari wadah kesatuan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan mengisinya dengan kesadaran yang baru.
 Sikap pemerintah Belanda lebih positif daripada dalam masa sebelum 1870. Pengaruh pemikiran liberal yang membuat pemerintah mengizinkan kehadiran perusahaan-perusahaan swasta yang dapat membantu dalam bidang ekonomi, terlebih lagi membantu zending dan misi secara finansial, pengaruh pribadi beberapa tokoh belanda yang beragama Kristen, juga faktor politis. Namun pemerintah tetap menuntut supaya zending dan misi melayani kepentingan serta mengikuti kebijaksanaan pemerintah. Sikap dan kelakuan masyarakat Eropa di Indonesia pada umumnya masih juga merupakan rintangan dalam usaha pekabaran Injil. Disatu sisi, pemerintah tetap mau menjadikan zending dan misi sebagai pembantunya dalam melestarikan kekuasaan Belanda, di sisi lain ada kesadaran nasional yang sempat bertumbuh di kalangan orang-orang Kristen pula, justru berkat pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah zending

Gereja dan theologia di negeri Belanda dalam abad ke-19 dan ke-20
Pada tahun 1796, hubungan khusus antara Gereja Gereformeerd dan Belanda diputuskan. Tidak ada lagi gereja-negara, dan semua warga negara Belanda mempunyai kedudukan hukum yang sama apapun agamanya. Namun gereja Hervormd diberi tata gereja yang bersifat hirarkis sebagai ganti tata gereja presbiterial yang lama. Tata gereja itu bertahan sampai tahun 1951. Sepanjang masa berlakunya, banyak protes terhadap organisasi yang tidak sesuai dengan karakter gereja. Protes tersebut menyangkut pengaruh pemerintah dalam gereja.
Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, di dalam gereja Hervormd terdapat berbagai aliran yang pola theologia dan kerohaniannya. Golongan tradisional berpegang pada ajaran bersejarah mengenai Allah Tritunggal dan mengenai Kristus Anak Allah. Kemudian ada yang disebut golongan injili; golongan yang ajaran serta kerohanian ortodoks sebagai rintangan pada jalan yang menuju kemajuan umat manusia. Mereka juga menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat theologianya. Setelah tahun 1860, muncul theologia modern atau liberal. Theologia ini berdasarkan penelitian kritis terhadap Alkitab dan filsafat modern.
Sekitar abad ke-19, muncul theologia yang memiliki arti besar bagi pekabaran inji di Indonesia, yaitu theologia ethis. Golongan ethis lebih banyak menghormati tradisi ortodoks dari pada yang lain. Namun para pengikutnya tidak sependapat dengan ortodoks. Golongan ethis lebih terbuka pada perkembangan zaman. Walaupun mereka berbeda-beda, namun golongan-golongan tersebut memiliki kesamaan unsur yaitu perhatian mereka kepada orang-orang percaya, walaupun berbeda-beda caranya.
Sejak tahun 1920-an terjadi pergeseran theologia yang dipelopori oleh Karl Barth(1886-1968) dkk. Bahwa tempat pertemuan dengan Allah bukan pada hati-nurani namun melainkan dari Firman Allah.  Selama abad ke-19 sampai abad ke-20, gereja Hervormd semakin merosot jumlah anggotanya. Hal itu disebabkan karena banyak orang belanda saat sensus menyatakan tidak beragama dan berkembangnya suatu kebudayaan sekuler (non-religius), dan hal inilah yang mengakibatkan munculnya gereja-gereja baru.

Lembaga-lembaga pekabaran Injil Belanda dan para utusannya
Pada tahun 1797 di Rotterdam, sekelompok orang mendirikan Nederlandsch  Zendelinggenootschap. Mereka didorong oleh kejadian-kejadian di Inggris dan oleh contoh orang-orang Herrnhut yang telah mendirikan lembaga sendiri. Lembaga ini memiliki tujuan yang sama dengan lembaga lain yaitu pekabaran injil kepada orang-orang kafir. Sebagian besar para pendukung NZG termasuk anggota gereja Hervromd. Sehingga mereka juga ikut dalam permasalahan didalam gereja tersebut. Dalam tahun 1850-an, pengurus ada yang beralih dan mendirikan lembaga baru. Lembaga pertama yang didirikan di samping NZG ialah Doopsgezinde Zendingsvereeniging (DZV, 1847) mereka memiliki ciri yaitu menolak baptisan anak, sumpah serta dinas militer, dan pemakaian asas-asas kongregationalistis dalam hal organisasi gereja.
 Kemudian ada pekabaran Injil yang diusahakan oleh  pendeta O.G. Heldring, seorang penganut aliran Reveil. Heldring memilih metode untuk mengirim orang Kristen secara spontan dan tanpa jaminan hidup. Dalam gagasan Heldring, yang ingin ditekankan bahwa kebangunan rohani, peranan anggota jemaat, serta penyerahan dirikepada pemeliharaan Allah. Ada juga yang memiliki cara yang sama dengan Heldring yaitu salatiga-zending. Aliran ini berawal dari jemaat di Nyemoh yang telah berdiri karena kegitan istri seorang pengusaha Belanda. Di Batavia, ada sekelompok orang yang berminat pada pekabaran injil. Karena tidak ada wadah yang menampung mereka maka didirikanlah Genootschap van In-en Uitwendige Zending te Batavia. Tujuan mereka ialah memperluas kerajaan Allah dari orang-orang Kristen sendiri dan orang-orang kafir dan islam. Tindakan ini merupakan bentuk protes terhadap aliran modern dalam NZG. Kemudian muncul Utrechtsche Zendingsvereeniging (UZV) yang beraliran “ethis”. Pada tahun 1859,  muncul Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereeniging (NGZV); menganut aliran ortodoks namun berpegang pada theologia Calvin. Lembaga terakhir yang muncul ialah Gereformeerde zendingsbond (GZB).
Para pemuda yang melamar pada lembaga-lembaga pekabaran Injil karena ingin menjadi zendeling, biasanya berasal dari kalangan rakyat kecil. Secara umum harus dikatakan bahwa pada abad ke-19 adn ke-20, karya besar zendeling berasal dari orang-orang kecil.

Gereja dan Zending di Jerman dan Swiss
Dalam zending Jerman kita menemukan corak yang serupa dengan yang terdapat dalam zending Belanda. Ada sejumlah lembaga yang polanya berbeda-beda, dari yang dekat dengan “Faith Missions” sampai yang mengikat diri kepada tradisi salah satu gereja. Hanya karena soal hubungan gereja dan negara, maka di Jerman tidak ada usaha pekabaran Injil oleh gereja-gereja sendiri, seperti yang sejak tahun 1860-an ada di negara Belanda. Sejarah lembaga-lembaga di Jerman pada umumnya lebih tenangdaripada di negeri Belanda. Tidak ada peristiwa dramatis seperti yang dialami NZG pada tahun 1858-1864, karena tidak ada juga pergeseran yang menonjol secara theologis.
Pendekatan kepada gereja, seperti yang terdapat pada sejarah zending Belanda sejak tahun 1900, dikalangan RMG baru lah berlangsung setelah 1945. Ikut sertanya lembaga Jerman dan Swiss dalam karya zending di Indonesia memperlihatkan usaha  pekabaran Injil dan merupakan bantuan besar bagi zending Belanda yang sangat terbatas tenaganya.

Gereja Protestan di Hindia-Belanda
Dalam abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20, ikatan antara Gereja (GPI)  dan negara  adalah sama eratnya seperti pada zaman VOC ,tetapi mengalami kerugiaan sama saja. Dan lingkungan-lingkungan pelayan gereja dimasuki suasana kepegawaiannya. Gereja merasa betah dalam keadaan itu, sehingga pemerintahlah yang harus menganjurkan perubahan dan perubahan itu berhasil ditunaikan dengan baik. Hanya karena sejak akhir abad ke-19, GPI mengalami pembaruan secara batin yang menyatakan diri dalam berbagai hal ( adanya usaha pekabaran Injil, perbaikan dalam hal pelayanan kepada Indonesia, meningkatnya peranan anggota jemaat misalnya dalam hal memilih majelis, peningkatan pendidikan tenaga pribumi, perhatian lebih besar bagi nilai pengakuan iman Kristen). Jemaat-jemaat pribumi di Indonesia Timur dalam abad ke-20 mulai mengikhtiarkan agar dapat berdiri sendiri. Mula-mula, pimpinan Eropa tidak bersedia untuk memenuhi keinginan itu, tetapi sekitar tahun 1930 dalam hal ini pun sempat diambil langkah-langkah yang menentukan. Proses pelepasan GPI dari negara di percepat oleh peristiwa-peristiwa pada masa perang dan selesai pada tahun 1950. Pada masa yang sama juga, semakin pudarlah ikatan yang tinggal antara gereja-gereja bagian yang lahir dari PGI.



Gereja di Maluku sejak tahun 1864
Gereja Protestan di Maluku mengalami perkembangan dari sekelompok jemaat di salah satu pelosok gereja kolonial menjadi Gereja Protestan di Maluku, suatu gereja Indonesia yang berdiri sendiri. Yang memungkinkan perkembangan itu adalah perubahan lahir dan batin yang telah berlangsung selama abad ke-19 dan awal abad ke-20. Jemaat-jemaat menerima penggembalaan yang semakin intensif oleh korps pelayan yang semakin besar dan berpendidikan baik. Pun jemaat-jemaat itu semakin giat dalam menjalankan kehidupan gereja dan semakin sadar bahwa gereja itu merupakan perkara mereka sendiri. Pada tahun 1935, usaha yang telah dirintis oleh Joseph Kam dan yang telah dilanjutkan oleh begitu banyak orang Maluku dan Belanda itu akhirnya sampai kepada tujuan, meskipun hasil yang diperoleh saat itu tak bisa tidak bersifat sementara. Ditengah pergolakan masa Jepang dan masa kemerdekaan, perkembangan ke arah gereja yang dalam hal organisasi dan dalam hal adat-kebiasaan berbeda dari dunia sekitarnya itu berjalan terus.

Gereja di Minahasa dari penyerahannya kepada GPI
Dalam masa 1875-1935, kekristenan di Minahasa mula-mula mengalami kemacetan dalam perkembangannya menuju gereja yang berdiri sendiri. Akan tetapi, berkat perubahan yang te jadi di kalangan orang Minahasa sendiri maupun dalam lingkungan pimpinan gereja berkebangsaan Belanda, maka akhirnya tujuan itu tercapai juga. Selama masa itu, di Minahasa sering terdapat suasana tegang antara empat unsur yang penting: zending, gereja (GPI), pemerintah dan tokoh-tokoh Minahasa yang sudah aktif dibidang politik dan gereja. Ketegangan itu membawa banyak kesulitan, tetapisempat menjadi pula pencetus pendobrakan kemacetan tersebut.
Yang penting juga ialah: pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya zending dan gereja, telah mulai melihat bahwa berdiri sendiri itu bukanlah tahap terakhir dalam perkembangan orang Kristen Minahasa menuju kekristenan yang sempurna, melainkan titik-tolak pertumbuhan rohani dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam lingkungan sendiri. Dalam masa Jepang dan dalam tahun 1950-an dan 1960-an, GMIM menghadapi tantangan yang baru. Dalam menjawab tantangn itu, tokoh pe ndeta Wenas memainkan peranan yang sangat penting. Sama seperti sejumlah besar gereja-gereja Indonesia yang lain, GMIM ragu-ragu memilih antara sentralisasi dan desentralisasi dalam hal urusan gereja.

Gereja di Nusa Tenggara Timur sejak 1860-an
Sampai tahun 1900, Gereja di Nusa Tenggara Timur tidak berhasil menembus batas-batas daerah yang telah berlaku sejak abad ke-18. Baginya, masa 1910-1940 merupakan masa perluasan, khusus di pulau-pulau Timor dan Alor. Perluasan ini merupakan akibat langsung dari meningkatnya semangat pekabaran Injil dalam GPI. Maka polanya juga sama dengan yang berlaku di daerah-daerah GPI lainnya: baptisan massal, pemisahan sakramen. Begitu pula kejadian berikut yang penting dalam sejarah gereja di Timor, yaitu tindakan-tindakan yang menjadikan gereja ini sebagai gereja yang berdiri sendiri, berkaitan erat dalam kesadaran bergereja GPI pada yahun 1930-an.
Bahkan dapat dikatakan bahwa perkembangan di Timor, khusus dalam tahun 1930-an, lebih banyak merupakan hasil kejadian di luar Timor daripada hasil dari orang Timor sendiri. Akibatnya pada tahun 1947 GMIT berdiri sendiri secara lahir, tetap belum siap secara batin.  Gerakan Roh pada tahun 1965-1969 merupakan peristiwa yang penting dalam kehidupan  GMIT, khusus daerah Timor Tengah Selatan, tetapi agaknya gerakan tersebut tidak banyak membantu gereja dalam usaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya.

Pekabaran Injil dan Gereja di Irian Jaya
Setelah membaca bagian ini, ada beberapa hal yang penting. Pertama, bahwa perbedaan antara metode Gossner-Heldring dengan metode UZV merupakan perbedaan tingkat, bukan perbedaan asasi. Kedua, dalam beberapa hal – sikap kepada kebudayaan setempat, pembangunan organisasi gereja – perkembangan di Irian agak terlambat, dibandingkan sejumlah daerah lainnya. Melihat keadaan di Halmahera adalah sama juga, maka dapat ditanyakan apa yang menjadi sebabnya: keadaan di lapangan, yakni taraf kemajuan orang Irian dan jarak-jarak yang jauh, ataupun pola berpikir dan pola kerja UZV? Ketiga, yang sedikit menghibur ialah: bahwa yang menentukan berhasil tidaknya suatu karya pekabaran injil  bukanlah metode yang dipakai, melainkan lebih banyak kekuatan Injil sendiri ditambah kasih dan kesetiakawanan yang dipupuk oleh Injil itu.

Pekabaran Injil dan Gereja di Halmahera dan Buru
Sama seperti di Irian, begitu pula di Halmahera pada masa permulaan pekabaran Injil sampai tahun 1930-an dapat dibagi menjadi dua. Masa pertama ditandai oleh metode konsentrasi dan kurang membawa hasil yang nyata. Masa kedua ialah masa ekspansi. Istilah ekspansi (perluasan) itu menyangkut daerah pekabaran Injil serta jumlah orang Kristen maupun cara pekerjaan itu ditangani. Dalam hal metode, terdapat perbedaan besar pada kedua babak itu, walaupun perbedaan itu tidak bersifat mutlak.
Dalam masa 1942-sekarang, ekspansi berlangsung terus. Pun dalam masa ini gereja Halmahera mandiri, orang Halmahera mengambil- alih pimpinan dalam gereja dari orang Belanda dan Ambon, dan mereka menyelesaikan tugas mengabarkan ini pada teman sesukunya yang belum menerima Injil. Namun demikian orang Kristen Halmahera ternyata telah menyadari, bahwa laingereja lain masyarakat suku. Hal ini terbukti dari kebijaksanaan yang diambil dalam hal nama dan organisasi gereja dan dari sikap terhadap adat.

Pekabaran Injil dan Gereja-gereja di daerah Sulawisi Utara (di luar Minahasa)
            Di kepulauan Talaud pada tahun 1850, keberadaan orang Kristen disana sudah tidak ada lagi. Akan tetapi di Sangir tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan gedung gerejanya dan sekolah. Mula-mula penduduk Kristen di Sangir agak bersikap negatif kepada para zendling. Di Sangir mereka tidak melakukan disiplin gerejawi, hal itu bisa kita tahu karena banyak penduduk disana melakukan poligami dan sebagainya. Namun dengan waktu yang relatif kebiasaan jemaat berhasil dirubah ,semenjak kedatangan para zendling dan angota sidi meningkat menjadi ribuan, dan kebiasan poligami pun hilang juga.

Pekabaran Injil dan Gereja-Gereja di Sulawesi Tengah
Dalam sejarah pekabaran Injil di Poso, muncullah beberapa ciri khas: perhatian besar terhadap agama dan kebudayaan asli, usaha sejauh mungkin untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asli itu kedalam tata kehidupan yang baru, kesabaran besar dalam menunggu hasil. Ciri-ciri ini akhir abad ke-19 terdapat juga pada daerah-daerah pekabaran Injil yang lain, tetapi lebih menonjol di Poso, akibat sikap yang diambil Kruyt terhadap orang-orang Poso dan kebudayaannya. Dengan demikian dalam lingkungan zending Belanda, Sulawesi Tengah dianggap daerah teladan, dan pasangan tokoh Kruyt dan Andriani menjadi tokoh yang sangat berpengaruh. Namun dalam beberapa hal, pandangan mereka tidak cukup luas, seperti yang menjadi nyata dalam organisasi gereja dan usaha dibidang kesehatan.

Pekabaran Injil dan Gereja-Gereja di Kalimantan sejak tahun 1860-an
Usaha zending di Kalimantan sudah dimulai sejak awal, kira-kira bersamaan waktu dengan yang di Jawa serta Sulawesi dan sebelum yang di Tapanuli. Faktor-faktor yang mempengaruhi pekabar Injil di Kalimantan, dan jugan dibandingkan dengan Tapanuli antara lain; pertama faktor objektif, yaitu bahwa Kalimatnan berpenduduk jarang, sedangkan Tapanuli justru padat.
  Harapan zending ialah supaya yang berada di pedalaman dapat di Kristenkan seluruhnya, sehingga suku Dayak dapat dicantumkan dalam satu gereja suku yang besar, sama seperti yang terjadi pada orang Batak di Sumatera Utara dan dengan orang “Toraja” di Sulawesi Selatan. Tetapi harapan itu tidak berjalan dengan baik, karena di Kalimantan tidak sampai terjadi pertobatan massal. Maka di Kalimantan, Gereja Kristen tetap merupakan suatu minoritas kecil, yang terbagi atas beberapa lembaga gereja.

Usaha pekabaran Injil oleh RMG di Sumatera Utara dan gereja-gereja yang dihasilkan olehnya
Didalam semua gereja yang merupakan hasil karya RMG, kathekismus Luther menjadi bahan dasar dalam pendidikan agama, sebagai ganti katekismus Heidelberg. Umur anak-anak yang mengikuti katekisasi dan melakukan sidi biasanya 14-15 tahun, yaitu lebih muda daripada dalam gereja-gereja lain (tetapi mereka mendapat hak memilih dn dipilih barulah sesudah menjadi dewasa). Usaha pekabaran Injil di Sumatera Utara mula-mula dirintangi oleh keadaan politik. Pekabar-pekabar Injil pertama yang berhasil masuk terpaksa menetap di pinggir Tanah Batak.
Tetapi di bawah pimpinan Nommensen, karya pekabaran Injil menembus ke jantung daerah-daerah yang masih murni menganut agama suku. Dalam perjumpaan dengan sistem sosial-budaya orang Batak, Nommensen mengembangkan pendekatan menyeluruh yang membawa kepada didirikannya gereja rakyat (gereja suku). Tetapi sejak 1927, kesatuan gereja suku itu terpecah. HKBP dan gereja-gereja asal RMG lainnya menunjukkan ciri khas yang membedakannya dari sebagian besar gereja-gereja lain di Indonesia.

Pekabaran Injil non RMG dan Gereja-gereja yang tumbuh darinya diSumatera Utara.
Selain oleh RMG, injil di bawa ke Sumatera oleh NZG dan oleh Gereja Methodis dari Amerika. Kegiatan mereka terutama berlangsung dibagian timur Sumatera Utara. Di Sumatera kebanyakan orang Karo tetap berpegang pada agama tradisional. Penganut agama suku menciptakan organisasi yang hendak memilihara warisan religous yang diturunka oleh nenek moyang yakni organisasi “ merga silima”.Di Sumatera bukan hanya zending Belanda yang mengabarkan Injil namun ada beberapa gereja-gereja yakni gereja Katolik Roma, sejumlah besar gereja pentakosta, dua gereja Adventus, Bala Keselamatan, dan Kemah Injil.



Pekabaran Injil dan Gereja di Nias dan pulau-pulau lain lepas Pantai sumatera (1865- sekarang)
Selama 25 tahun pertama usaha PI di Nias tetap terbatas hanya pada daerah kekuasaan Belanda. Pada hari raya paskah 1874 pertama kali dilakukan baptisan pertama kepada 25 orang Nias. Pekabaran Injil di Nias, bukan hanya pada Nias sendiri namun pada pulau-pulau sekitaran Nias. Setiap gereja selalu di pimpin oleh kepala suku. Di Nias terbentuklah BNKP dan ONKP. Di kepulauan Batu Mentawai sebelum mendapat injil, mereka tergolong dalam sebutan kafir, maka RMG mengirim seorang zendeling, Auugust Lett namun Ia di bunuh. Atas bantuan guru-guru serta pendeta-pendeta batak, berhasil menderikan sejumlah jemaat Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM)

Pekabaran Injil dan Gereja di Jakarta dan di Jawa Barat sejak tahun 1870-an
Di Jawa Barat, Injil dibawa oleh beberapa badan dan orang-perorangan. Oleh karena itu, dan oleh karena penduduknya banyak yang datang dari daerah lain maka di daerah tersebut, khususnya daerah Jakarta, terdapa sejumlah besar gereja Kristen. Dua diantaranya yang dapat dikatakan “pribumi”, karena beranggotakan orang yang sudah tinggal didaerah itu turun-temurun, yaitu GKP dan GKI-Jabar. Tetapi jemaat-jemaat para pendatang itu ada yang lebih besar dari pada gereja “pribumi” tersebut, seperti HKBP dan GPIB.

Pekabaran Injil dan gereja-gereja di Jawa Tengah sejak tahun 1870-an
Di Jawa Tengah, agama Kristen pertama kali dibawa oleh orang-orang Eropa perorangan dan diteruskan oleh orang Jawa sendiri. Sesuai suasana kolonial abad ke-19, lembaga-lembaga pekabaran Injil dari Eropa menganggap perlu menampung dan mengasuh kelompok-kelompok Kristen Jawa itu. Tiga lembaga yang masuk ke Jateng masing-masing mewakili denominasi tersendiri: mennonite, Kongregasionalis, Calvinis. Maka berlainan dengan keadaan di Jabar dan Jatim, di daerah Jateng berdiri tiga, bahkan lima gereja “pribumi”,disamping jemaat-jemaat pendatang (HKBP, GPIB) dan gereja-gereja lain yang tak terbatas pada daerah itu, seperti Pentakosta dan lain-lain.
Pekabaran Injil Dan Gereja Di Jawa Timur Dan Bali Sejak Tahun 1870-An
            Pada tahun 1870-an proses penampungan kekristenan jawa oleh lembaga-lembaga zending Eropa untuk Jawa Timur sudah selesai. Tahun 1879-1910 perkembangan dilakukan menurut garis yang telah ditetapkan zending yaitu, a. zending lebih memperhatikan desa daripada kota, b. penyelenggaraan karya pI sebagai karya pendidikan. Dan ketika itu dimulailah pekabaran injil di Madura di pantai Utara Jawa Timur yang kemudian bersatu dengan NZG dikalangan suku Jawa. Tetapi pada ± tahun 1910 para zending mendapat tantangan yaitu seperti bangkitnya gerakan nasional dikalangan orang jawa.
Tahun 1920-an merupakan hasil saling mempengaruhi antara para zendeling dan orang Kristen Jawa. Pada tahun 1923 Mojowarno berdiri sendiri. NZV di Jawa Barat berbeda dengan NZG di Jawa Timur yang tidak bekerja dengan lingkungan orang Tionghoa. Akibat dari peristiwa pembunuhan seorang zendeling membuat pemerintah Belanda melarang kegiatan pekabaran Injil di Bali. Pada tahun 1929, Injil masuk di bali dengan cara yang tak terduga. Seorang penginjil CAMA dari tiongkok daratan bernama Tsang Kam Fuk. Pada tanggal 11 November 1931, 12 orang bali dibaptis.
Pekabaran Injil dan Gereja di Sumba
Sampai abad ke 19 sumba belum dipengaruhi oleh Belanda. Daerahnya terbagi atas sebagian besar kerajaan. Orang sumba tidak menganut agama Islam melainkan Agama Suku yang mereka sebut sebagai agama Marapu (Marapu=Dewa, Roh). Permulaan agama Kristen di Sumba merupakan hasil upaya Ressiden Esser Kupang. Pada tahun 1881, mengutus seorang zendeling yang bernama J.J Van Alphen ke sumba. Misi menetap dilakukan di sumba pada tahun 1931. Pada 1902 sumba menjadi lapangan jemaat-jemaat Gereformeerd di Belanda Utara. Pada tahun 1915, terjadi baptisan pertama di Sumba.
Hanya jemaat orang sawu yaitu jemaat Kambaniru yang dinyatakan berdiri sendiri pada tahun 1916. Dan jemaat Sumba berdiri sendiri pada tahun 1937. Ketika itu sudah ada 4.000 orang Kristen. Perang Dunia II juga membuat GKSS menjadi mandiri. Pada Maret 1942 dua orang guru Injil Sumba ditahbiskan menjadi pendeta. baik sebelum dan sesudah perang Dunia II masih banyak tantangan Khusus. Sumba merupakan daerah yang sulit bagi zending karena adanya factor kesukuan dan karena ketidakamanan pada tahun 1912.
Gereja-gereja Pentakosta
Gereja Pentakosta merupakan Gerakan yang timbul dari Amerika Utara pada tajun 1906. Gerakan ini merupakan salah satu tunas “Holiness Movement” (Gerakan Kesucian) yang timbul di dalam gerakan Metodist dalam priode abad ke-19. Gerakan ini masuk ke Indonesi dengan tidak adanya perencanaan. Pada tahun 1923, penginjil-penginjil pentakosta yang berada di Indonesia mendirikan badan “De Pinkstergemeente in NOI” dan mulai 1942 disebut “Gereja Pentakosta di Indonesi” (GPDI). Sekitar tahun 1950 muncul “sidang Jemaat Allah di Indonesia”.
Yang mencapai tersebar adalah pentakosta. Mereka pada umumnya bekerja di kota-kota dan ditengah-tengah orang yang sudah masuk Kristen sebelumnya. Yang paling diutamakan ialah usaha penginjilan secara langsung. Jumlah orang Pentakosta di Indonesia sangat besar, tetapi gereja mereka pecah belah akibat perpecahan yang merajalela antara tahun 1930 dan 1970.

 Sejarah Gereja-gereja dari rumpun Kemah Injil
Gereja yang termasuk rumpun “kemah injil” berakar dalam gerakan “Alliance” yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1880-an. Ajaran CAMA dapat disebut “Injil rangkap empat” yaitu, “Kristus menyelamatkan, Menyucikan, menyembuhkan dan datang kembali sebagai Tuhan”. Dalam waktu singkat CAMA telah mengirim penginjilnya ke segala Benua. Dalam waktu beberapa tahun juga ia telah membuka pekabaran injil di Makassar, Bali, Lombok, Sumbawa, Kaltim, Kalbar, Sumatera Selatan dan pedalaman Iran.
Pada tahun 1942 semua pekabar Injil ditawan Jepang. Meskipun demikian seusai perang karya CAMA di Indonesia mengalami pertumbuhan dalam berbagai hal. Pada tahun 1965 gereja yang beraliran CAMA mengadakan koferensi di Makassar. Ciri khas GKII/CAMA ialah : 1. Dalam hal eklesiologis, 2. Dalam hal hukum kelakuan, 3.tidak memiliki jaringan lembaga umum.

Sejarah Gereja-gereja dari Rumpun Baptis
Aliran Baptis timbul di Inggris sekitar tahun 1600. Ciri khasnya ialah penolakan terhadap pembaptis anak. Pada tahun 1792, atas prakarsa salah seorang pendeta Baptis yang bernama William Carey, didirikanlah Baptist Missionary Society. Peristiwa ini menandai permulaan sejarah usaha pekabaran Injil modern. Pada tahun 1950, tenaga utusan kovensi Baptis Selatan dari Amerika Serikat harus meninggalkan negeri Tiongkok setelah kaum komunis mengambil alih kekuasaan di situ. Pada tahun 1951 mereka dialihkan ke Indonesia.
Di Irian berdiri badan Baptis besar lain lagi, yaitu persekutuan Gereja Baptis di Irian Jaya (PGBIJ). Pada tahun 1962 dilakukan pembaptisan pertama. Empat bulan kemudian orang yang dipabtis dibunuh oleh kelompok yang berperan dalam kehidupan tradisional. Selain itu masih ada juga sejumlah kelompok baptis yang lebih kecil. Mereka bekerja sama dengan aliansi Baptis. Pada tahun 1995, orang Baptis di Indonesia berjumlah 100.000 jiwa lebih.
Bala Keselamatan
Bala keselamatan didirikan pada tahun  1878 di London oleh William Booth. Tidak lama setelah Bala Keselamatan mendirikan cabang di Belanda, yang akhirnya menjadi induk Bala Keselamatan diIndonesia. Pimpinan Koloni Salib Putih di salatiga memandang perlu menciptakan sarana transmigrasi bagi penghuni koloni itu. Tahun 1948 di Indonesia terdapat 3.500 lebih perwira Bala Keselamatan, dengan 60.000 anggota, yang terbagi atas 4 divisi dan 7 distrik. Tiap jemaat setempat disebut “korps”. Tiap hari minggu pagi diadakan kebaktian, yang disebut “kabaktian kesucian” sebab hendak mengantar umat Allah ke kesucian. Dan tiap minggu malam diadakan “kebaktian tebusan”, dengan maksud agar dalam kebaktian itu orang yang belum bertobat mendapat tebusan.

Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh
Gereja Advent Hari Ketujuh berakar dalam sebuah gerakan yang terjadi di Amerika Serikat sekitar tahun 1820. Hal yang paling diutamakan adalah unsur eskatologi (penantian kedatangan kembali Kristus).  Gerakan Adventis masuk ke Indonesia pertama kali tahun 1900. Pada masa itu pemerintah masih melarang pekabar Injil ganda, sehingga usaha untuk membuka karya pekabar Injil di Sukabumi dan Bandung gagal. Kemudian Gereja Advent masuk ke Minahasa, Maluku, Tapanuli, Lampung dan Kalimantan.
Pada tahun 1995 Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia berjumlah sekitar 110.000, dalam 900 lebih jemaat. Mereka tergabung dalam Uni Indonesia, yang terbagi atas sejumlah distrik. Tiap jemaat dilayani oleh penatua jika di jemaat itu tidak memiliki pendeta. Uni Indonesi mengutus wakil-wakilnya ke sidang-sidang wilayah Timur Jauh dan ke Gerenal Conference di Washington, yang merupakan badan pusat Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh.

Tinjauan umum atas periode 1860-1942; A. Para zendeling, karya dan kebijakan mereka
Jumlah tenaga kerja zending dari Eropa jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Mengalami kemajuan besat diantara tahun 1860-1940. Sejalan dengan pertambahan jumlah tenaga, daerah tempat usaha pekabaran Injil diselenggarakan bertambah luas. Tahun 1850 daerah itu mencakup Maluku tengah dan Minahasa. Pada 1938 dijalankan usaha pekabaran Injil di seluruh Indonesia Timur, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera selatan serta Sumatera Utara. Zending juga mergerak di bidang ekonomi. Alasannya untuk melakukan kegiatan di bidang ini karena melindungi penduduk desa yang miskin.
Pada masa sesudah tahun 1870 pemikiran dan praktik zending semakin dipengaruhi oleh aliran teologis “etis”. Teologi ini pun berminat akan perkembangan kehidupan beriman dalam diri orang Kristen. Jika kehidupan  gereja, sama seperti kehidupan iman di dalam gereja masing-masing, harus melalui proses pertumbuhan yang akhirnya membawa ke kematangan, maka kemajuan yang sudah dicapai di dalam proses yang dapat diukur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sama seperti suasana zending. Sampai tahun 1930, tidak satu pun gereja oleh zending dinyatakan mandiri.
Dampak pengaruh teologi etis terhadap kebijakan zending dapat kita temukan juga dalam perkembangan status tenaga zending berkebangsaan Indonesia. Kenyataan ini disebabkan pertimbangan yang sudah disebut bahwa para penghantar jemaat dianggap belum matang. Hubungan antara zending dengan system colonial di Hindia-Belanda tidak mungkin dilukiskan dengan memakai hanya satu warna saja. Sampai akhir masa ini zending tidak berhasil melepaskan diri secara tuntas dari pengaruh pemikiran barat yang telah ikut mewarnai pola kegiatannya selama itu.

Tinjauan umum atas Periode 1860-1942; B. Orang-oramg Kristen Protestan Indonesia
Pada tahun 1938, agama Kristen sudah tersebar ke seluruh wilyah nusantara, walaupun belum secara merata. Dilihat dari sudut pandang rakyat, zending tetap bersekutu dengan penguasa colonial; alasan psikologis bahkan kini lebih kuat lagi disbanding abad ke-19, disebutkan pengaruh semakin terasa bahkan sampai ke pelosok. Pada masa ini orang masuk Kristen bukan karena terpaku oleh pribadi dan pesan zendeling barat itu, melainkan karena pertimbangan dari mereka sendiri. Kadang-kadang gejala sinkretisme itu menjelma dalam gerakan mesianis.
Pemerintah tidak menunjang kegiatan zending secara langsung sebab Negara netral tidak mungkin mendukung pekabaran Injil. Namun zending menerima bantuan secara tidak langsung. Dalam usaha mengabarkan Injil, para utusan Injil Eropa didampingi oleh sejumlah besar tenaga Indonesia. Hasil pengamatan zending : ikatan yang menghubungkan orang-orang hidup dengan nenek moyang sangat susah, iman Kristen tidak berhasil mempengaruhi adat, iman Kristen dianggap pola pemikiran lama dan iman Kristen sempat disebut mitos.


 Gereja-gereja di Indonesia pada Masa Jepang (1942-1945)
Pada tahun 1941 jepang menyerang Amerika Serikat dan dalam waktu singkat mereka berhasil menundukkan seluruh asia tenggara termasuk Hindia-Belanda. Keadaan gereja-gereja di Indonesia pada permulaan masa Jepang dapat digambarkan sebagai berikut : orang Belanda masih menduduki tempat penting dalam badan pimpinan pusat, pelayan gereja ada yang telah menjadi pengurus sinode, gereja pada umunya belum berdiri sendiri, belum berhasil didirikan organisasi gerejawi tingkat nasional dan sikap orang Kristen terhadap para pemimpin gereja bangsa Belanda berbeda-beda.
Pada permulaan masa jepang, sebagian besar orang Kristen di Indonesia sudah mengalami kemandirian. Pada masa perang, tindakan orang jepang menghadapkan orang Kristen pada tantangan yang hebat di bidang kerohanian, kepemimpinan dan keuangan. Kebanyakan penghantar jemaat dan orang Kristen meneruskan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Selama masa  jepang, organisasi gereja tidak dapat berjalan dengan lancar, tetapi kehidupan jemaat berlangsung terus dan kesadaran jemaat bertambah besar.

 Tinjauan Umum : Gereja-gereja di Indonesia, 1945-sekarang
Setelah Indonesia merdeka jumlah Gereja di Indonesia bertambah dan kekristenan beragam. Ketika zending meninggalkan anak asuh mereka, mereka sudah meninggalkan tata gereja yang bersifat Presbiteral. Permasalahan yang dialami gereja di bidang keuangan langsung berhubungan dengan para zendeling. Dalam hal tata kebaktian, yang paling mampu bertahan ialah warisan para zendeling yang berpola Calvinis atau Lutheran atau juga Kebangunan. Dalam hal pengakuan iman, zending dan gereja-gereja continental telah bertindak dengan sangat hati-hati.
Hal yang dilakukan orang Kristen Indonesia yang paling sering ialah memberitakan Injil. Sebab para Pendeta Eropa tidak ungkin mengabarkan Injil sendirian untuk daerah yang begitu luas. Dalam hal Oikumene, persaudaraan dan kerja sama anatr sesame Kristen telam menciptakan wadah se-indonesia. Pada saat itu hubungan dengan gereja-gereja induk di Eropa tetap terpelihara. Di samping ikatan dengan gereja induk, gereja-gereja di Indonesia sejak tahun 1950-an menjalin hubungan dengan gereja-gereja lain. Setelah tahun 1945 jenis kesalehan yang telah diwariskan para penginjil dari Eropa tetap menjadi dasar kerohanian.
Pendidikan Pelayan-Pelayan Gereja Dan Perkembangan Ilmu Teologi Dalam Abad Ke-19 Dan Abad Ke-20
Sejarah pendidikan pelayan gereja berlangsung tiga tahap. Yang pertama, pendidikan dalam lingkungan rumah Zendeling. Yang kedua, lembaga pendidikan guru atau guru injil yang masih sederhana. Yang ketiga, dalam sekolah teologi. Dalam mendidik calon-calon yang berada di rumah zendeling, para  zendeling memakai cara yang berakar di bumi Indonesia. Dalam hal lembaga pendidikan para zendeling mendirikan lembaga  sekolah khusus untuk pendidikan pelayan gereja. Dan dalam hal pendirian STT, sebelum STT didirikan gereja protestan telah mengirim calon nya untuk belajar teologi di Eropa. Sampai tahun 1942 STT itu menghasilakan 29 orang pendeta. Adanya STT dan lembaga pendidikan lain memungkinkan timbulnya ahli-ahli teologi.

Gerakan Oikumenis di Indonesia
Selama abad ke-17 dan 18 semua orang Protestan Indonesia sekarang tarmasuk satu Badan Gereja, yaitu gereja gereformeerd, yang dipimpin oleh majelis jemaat di Batavia dan berhubungan erat dengan pemerintahan VOC. Selama abad ke-19, upaya mewujudkan keesaan Kristen dijalankan orang belanda semata-mata. Sampai perang Dunia II, upaya menuju keesaan berkembang terus. Pada tahun 1906, lembaga  pekabaran Injil di Belanda mendirikan konsulat Zending selaku perwakilan tunggal dihadapan pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa jepang terjadi kegiatan Oikumenis yang sangat intensif. Tetapi pada waktu itupun kegiatan itu merupakan hasil upaya orang asing. Kegiatan Misionaris seusai Perang Dunia semua mengarah ke pembentukan Dewan Nasional seperti yang sudah diusahakan pada tahun 1940. DGI dibentuk pada 1948 dan yang dapat menjadi anggotanya ialah badan-badan gereja, itupun yang telah memenuhui syarat tertentu. DGI/PGI menngemukakan catatan. Pertama, pengaruh tradisi badan-badan Kristen oikumenis Internasional. Kedua,justru karena PGI menjadi penghubung dengan dunia luar maka ada kemungkinan gereja tidak berjalan secara cepat.



Orang-Orang Kristen Di Tengah-Tengah Masyarakat Indonesia
Factor objektif yang ikut menentukan peranan dalam masyarakat. Pertama, jangan kita lupa akan kenyataan bahwa sekitar tahun 1900 orang Kristen merupakan 1% penduduk Indonesia. Terdapat pendorong orang Kristen untuk membangun masyarakat dan bangsa Indonesia. Berbicara mengenai sumbangan orang Kristen mengenai pendidikan sebelum tahun 1942 mengenai jaringan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga zending. Subsidi yang berasal dari pemerintah biasanya disertai syarat, bahwa jadwal mata pelajaran harus sama dengan jadwal sekolah-sekolah pemerintah.
Yang membedakan sekolah zending dengan sekolah negeri ialah sekolah Kristen merupakansaluran untuk pekabaran Injil dan lain sebagainya. Masa Jepang membawa perubahan yang mendalam dunia pendidikan Kristen Indonesia. Sama seperti kegiatan di bidang pendidikan, tidak bisa tidak menyertai pengabaran injil oleh para utusan zending. Keikutsertaan mereka sepadan dengan jumlah mereka.

Gereja Katolik 1860-1900
Salah satu hambatan terbesar bagi karya misi ialah pribadi raja Don Andre de Vieira Godino suka minum candu. Pastor yang dulu bekeja di Sikka pada tahun 1891 menjajaki kemungkinan karya misi. Sejak tahun 1885-1890 mulai disadari bahwa Serikat Yesus sendirian tidak sanggup lagi menangani segera karya misi di Nusantara. Pada tahun 1889-1891 ada 16 imam baru datang. Tanggal 22 mei 1894 pastur Le Cocq mendarat di kapaur, di Teluk Berau. Penduduknya sedikit tapi mereka menerima pastur dengan ramah-tamah. Pada tanggal 1 mei 1895 ia datang lagi, disertai lagi,vdisertai dua bruder. Dari serikat Yesuit ada 50 imam dan 15 bruder di Indonesia.

 Gereja Katolik 1900-1942 : Umum
Pada tanggal 21 mei 1898 Edmundus Luypen SJ, pastor di Maumere sejak 1891. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi ialah perjanjian “Notader Punten” tahun 1847 yang hanya mengakui satu Vikaris Apostolik. Yang menarik perhatiannya ialah pembedaan “geestelijke” dan “zendeling” yang berlaku bagi situasi Protestan oleh pemerintah. Para waligereja masih bersidang empat kali sebelum penyerbuan Jepang, yaitu pada tahun 1925, 1929, 1934 dan 1939. Imam-imam Indonesia pertama berasal dari daerah karya Gereja Katolik yang termuda : Jawa. Sampai tahun 1928 semua tamatan masuk Serikat Yesus. Pada tahun 198 ada yang masuk ordo karmelit; pada tahun1929 ada yang masuk Ordo Kapusin.
1900-1942 : Daerah masing-masing
Pada bulan Oktober 1896 tibalah di Semarang dua pastur baru yang dikhususkan bagi pewartaan Injil di antara orang Jawa : Fransiskus Van Lith dan Petrus Hoevenaars. Pada bulan oktober 1897 hampir segala harapan bagus untuk pekabaran Injil hancur. Didirikannya Vikariat Apostolik Semarang merupakan pembagian di Batavia yang terakhir sebelum masa Jepang tahun 1927. Sampai zaman jepang, gereja katolik di Jawa Barat mayoritasnya belanda dan Indonesia. Di daerah Jakarta hanya kampung sawah lah yang merupakan Paroki Pribumi. Di jawa barat, biara yang pertama ialah santa clara. Di Bandung 2 paroki yang berdiri di bandung sejak tahun 1878. Di Purwokerto, tiga pater yang bekerja di keuskupan purwokerto. Di Surabaya dan Malang, tahun 1923 karya gereja di daerah ini diserahkan kepada ordo karmel dan kongresi misi. Di padang, didirikan sekolah pertama untuk anak Tionghoa. Di Tanah Batak, pekabaran injil dilakukan dengan cepat, intensif dan ekspansif. Di Nias, 8 tahun gereja di Nias hidup tanpa imam. Di Bengkulu, 27 desember 1923 menjadipos misi pekabaran Injil. Dan masih banyak lagi di daerah lain.

 Perang Dunia II dan Perjanjian Jepang
pada bulan Desember 1948 dilancarkan aksi polisionil II oleh belanda, keadaan di Muntilan menjadi kacau, pamong praja melarikan diri, ada kekosongan pemerintah. Situasi ini digunakan untuk mengajak pastur di kolese untuk berunding di masjid kauman.  Di luar mutillan mereka frater herman dan room Richardus dibunuh dengan sadis. Hari itu 19 Desember. Tak lama setelah itu kompleks muntilan dimusnahkan oleh kelompok yang sama.

1860-1945 Selayang Sepandang
Dari semula kerasulan diantara penduduk pribumi mendapat perhatian besar, tetapi baru sekitar tahun 1860 jumlah pastur mulai melebihi 10 orang. Karya misi akan berkembang terutama di daerah Flores, Timor Tengah, Kei dan Minahasa. Penempatan tenaga pekabaran Injil tidak merata. Ada empat hal yang penting artinya untuk orang Katolik yaitu: 1. Persatuan politik katolik Indonesia, 2.sukarno dapat mengerti dan mengetahui peranan Gereja katolik dengan jelas, 3. Tahun 1940 Alb.Soegijapranata diangkat menjadi uskup Semarang, 4. Kesetimbangan sifat Nasional dan Internasional Gereja Katolik.


Masa Republik Indonesia : Beberapa Angka
Pada tahun 1534 raja mamoya, kampung utama di moro, Halmahera utara dipermandikan. Peristiwa itu dipandang sebagai permulaan gereja Katolik di Nusantara. Pada tahun 1984 diperingati ke-450 tahun. Sampai akhir 1960 wilayah Indonesia dibagi menjadi sejumlah Vikariat Apostolik. Pada tanggal 3 januari 1961 paus Yoanes XXIII mendirikan hierarki di Indonesia. Sejak kemerdekaan kongresi baru didirikan. Kalau sebelum kemerdekaan masih ada orang yang bisa menganggap bahwa masuk Kristen katolik  itu agak sama dengan masuk Belanda. Pandangan seperti ini tidak sama sekali dapat dipertahankan. Kebanyakan misionaris kini sudah menjadi warga Indonesia. Dari 34 keuskupan tinggal 8 yang uskupnya belum seorang putera pribumi.

Comments

Popular posts from this blog

teologi misi : misi abad modern (pencerahan)

teologi misi : misi gereja mula-mula