teologi misi : misiogi zaman reformasi,



Bab I
Pendahuluan

Yang menjadi masalah pada masa ini, yakni semua pengajaran dituntut untuk dapat diterima dengan akal. Hal ini membuat masyarakat mulai memberontak dan menolak ajaran-ajaran gerejawi. untuk mengatasi masalah ini, maka dari pihak gereja juga berusaha agar dapat menjelaskan ajarannya agar dapat diterima dengan akal.[Y3] 
 Pada abad ini berbagai penyelewengan dilakukan. Tidak hanya kepada masyarakat, melainkan juga dalam ajaran Alkitabiah yang sudah menyimpang. Hal ini dilihat dari praktek penjualan surat penghapus dosa. Masyarakat yang diperalat inipun hanya mengikuti segala peraturan yang dikeluarkan.
Pada masa yang krisis ini, muncul suatu paradigma yang baru dari Martin Luther (1483-1800 M). Ia melihat abad pertengahan ada dalam suatu kebusukan, baik secara teologis maupun moral. Ia berusaha untuk meluruskan kembali ajaran-ajaran yang telah menyimpang dari Alkitab.
Mengenai praktek misi sendiri pada masa ini, kelompok akan membahasnya dalam paper ini dengan judul “Misi di zaman Reformasi/Pietisme (1517-1800 M).




Bab II
Isi
1.      5 ciri teologi misi Protestan
a.       Pasal tentang pembenaran oleh iman merupakan titik tolak teologi bagi Reformasi Protestan.  Pasal ini mengungkapkan keyakinan dasar Reformasi: ada jarak yang luar biasa antara Allah dan ciptaan-Nya, namun Allah, dalam kedaulatan dan oleh kasih karunia-Nya (sola gratia), mengambil inisiatif untuk mengampuni, membenarkan dan menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian, titik tolak Reformasi bukanlah apa yang dapat dan harus dilakukan orang untuk mendapatkan keselamatan mereka, melainkan apa yang telah Allah lakukan di dalam Kristus (Roma 1:16-17).[1]
b.      Yang erat terkait dengan sentralitas kebenaran adalah pandangan bahwa manusia terutama sekali dari prespektif kejatuhan ke dalam dosa, sebagai ciptaan yang tersesat, tidak mampu melakukan apa pun tentang kondisi mereka. Reformasi memisahkan hubungan dengan pandangan dari Aquinas tentang kebaikan dan rehabilitas nalar manusia, bahwa nalar tersebut sudah rusak dan cenderung berbuat kesalahan. Oleh karena itu, kejahatan harus direbut dari manusia. Manusia harus disadarkan akan kondisi mereka yang sesat, agar mereka dibawah pada  pertobatan dan dilepaskan dari beban dosa mereka yang berat.[2]
c.       Reformasi menekankan dimensi subjektif keselamatan. Bagi Thomas Aquines, teologi masih merupakan scientia argumentativa (ilmu pengetahuan yang didasarkan pada penalaran). Bagi Luther ini adalah suatu pendekatan yang tidak mungkin. Allah tidak boleh dianggap sebagai Allah di dalam diri-Nya (gott an sich); Ia adalah Allah bagi saya, bagi kita, Allah yang demi Kristus telah membenarkan kita oleh kasih karunia. Sejarah mengenai pribadi Luther dan pertanyaan yang eksistensial “di manakah aku menemukan Allah yang pemurah?” memainkan peranan di sini, seperti halnya juga dengan kenyataan bahwa pada akhir abad pertengahan individu mulai muncul secara bersama-sama (kolektif). Reformasi “meneologikan” perkembangan ini; pertanyaan tentang keselamatan menjadi pertanyaan pribadi setiap individu. Penekanannya tidak lagi lenyap dalam ribuan cara yang berbeda. Orang-orang percaya akan menekankan pengalaman pribadi dan subjektif dalam kelahiran baru oleh Roh kudus, maupun tanggung jawab individu dibandingkan dengan tanggung jawab kelompok.[3]
d.      Penegasan peranan dan tanggung jawab pribadi menyebabkan penemuan kembali ajaran tentang imamat am orang percaya. Orang percaya berada dalam hubungan langsung dengan Allah, hubungan ini merupakan suatu hubungan yang hadir secara terpisah dengan gereja. Memang benar bahwa di dalam kasus Luther sendiri dan karena cara gagasan tentang imamat am orang percaya itu dipraktikan oleh kaum Anababtis, ia di paksa untuk mundur pada pemahaman yang lebih kaku tentang jabatan. Ia  menyangkal keabsahan jabatan apapun yang tidak dikaitkan dengan keberadaan jemaat-jemaat yang ditentukan secara geografis dan menolak gagasan tentang siapapun yang menggunakan amanat agung sebagai dasar untuk membenarkan jabatan gerejawi. Walaupun demikian memperkenalkan kembali gagasan tentang imamat am orang percaya yang memulai sesuatu yang tidak dapat lagi dihapus, sesuatu yang telah tetap menjadi ciri protestan sampai saat ini.[4]
e.       “Gagasan protestan” diungkapkan dalam sentralitas kitab suci, dalam kehidupan gereja. Ini berarti bahwa firman lebih tinggi kedudukannya dan sakramen secara drastis dikurangi.[5]
Kelima ciri protestanisme ini, yang terhadapnya beberapa ciri lain mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi pemahaman dan perkembangan misi, baik positif maupun negatif.
Ciri pertama, penekanannya pada pembenaran oleh iman pada pihak lain, dapat menjadi suatu dorongan yang kuat bagi keterlibatan dalam misi. Namun ia pun dapat melumpuhkan usaha misi manapun. Dapat diperdebatkan bukankah karena inisiatifnya tetap ada di tangan Allah dan Allah sajalah yang dalam kedaulatanya memilih mereka yang akan diselamatkan? setiap usaha manusia untuk menyelamatkan sesamanya adalah merupakan hujatan.
 Kemenangan terpenting di mana individu dikorbankan demi keseluruhan. Hal yang sama, penekanan yang berlebihan pada individu dapat mengasingkannya dari kelompok dan menghancurkan kesadaran akan kenyataan, bahwa seorang manusia itu sendiri adalah seorang di dalam komunitasnya.
Berbicara tentang imamat am orang percaya berarti memperkenalkan kembali gagasan bahwa setiap orang kristen mempunyai panggilan dan tanggung jawabnya melayani Allah, untuk terlibat aktif di dalam pekerjaan Allah di dunia dan dengan demikian memutuskan hubungan dengan konsep bahwa orang  “biasa” adalah “anak-anak” dan “objek” yang belum dewasa dari pelayanan gereja. Konsep ini mengandung benih-benih perpecahan dalam gereja (skisma) yang ditimbulkan oleh penafsiran dari setiap orang percaya atas kehendak Allah dengan cara yang berbeda-beda, dan karena ada pimpinan gereja yang berwibawa (magisterium), masing-masing mengambil caranya sendiri.
Sentralitas kitab suci sebagai pembimbing kehidupan menandai kemajuan penting atas pandangan, bahwa semua masalah iman dan kehidupan harus diatur, kadang-kadang dengan semau-maunya oleh paus dan konsili.[6]

2.      Para reformator dan misi
Kegiatan misi ditemukan dalam diri para reformator, selain itu juga terdapat gagasan tentang misi yang diketahui sampai saat ini. Misalnya, Luther. Ia tidak pernah berpolemik menentang misi asing. Menurut Warneck, tidak ada penyesalan yang diangkat oleh para reformator tentang ketidakmampuan mereka untuk pergi ke dalam dunia. Tidak ada kata-kata penyesalan ataupun alasan tentang keadaan-keadaan yang menghalangi mereka untuk melaksanakan tugas misi tersebut.[7]
Luther dianggap sebagai pemikir misi yang kreatif dan orisinal. Ia adalah seorang misiolog. Dalam usaha misi gereja, ia memberikan pedoman-pedoman dan prinsip-prinsip yang jelas dan penting. Titik tolak teologi para reformator adalah apa yang sudah dilakukan Allah di dalam Kristus. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui Injillah yang “memisikan” dan dalam proses ini memanggil umat manusia. Jadi, secara keseluruhan tekanannya adalah pada misi yang tidak tergantung pada usaha-usaha manusia. Bagi Luther, iman adalah sesuatu yang hidup. Di samping Luther, ada salah satu tokoh yang turut berperan di dalam misi zaman reformasi, yaituYohanes Calvin (1509-1564). Ia menekankan kedaulatan Allah dalam teologinya. Kemudian dalam sebuah khotbah tahun 1562, berdasarkan 2 Samuel 5:6-12, Calvin membandingkan nasib gereja di masa kini dengan Raja Daud yang berusaha memenangkan Yerusalem. Bagi Calvin, pemerintahan Allah akan bertambah, tetapi bukan melalui karya manusia atau usaha gereja. Hal itu hanya akan terjadi melalui kasih pemilihan Allah.[8] Bagi Luther dan Calvin, tidak perlu menggunakan kekerasan untuk mengkristenkan orang.
Melalui reformasi, ada misi-misi yang dilakukan sehingga gereja menjadi diperbaharui. Tetapi ketika para reformator meninggalkan monastisisme, hal itu mengakibatkan mereka kehilangan sebuah agen misi yang sangat penting.
Faktor-faktor di atas juga berlaku bagi kaum Anabaptis. Bedanya, kaum Anabaptis menerima dan pada saat yang sama meradikalkan, gagasan Luther tentang imamat am orang percaya yang universal. Selain itu, kaum Anabaptis  membuang gagasan tentang jabatan yang khusus dan ekslusif. Sedangkan Luther masih berpegang pada konsep jemaat-jemaat yang terbatas secara wilayah dan pada jabatan gerejawi yang terbatas pada wilayah geografis yang telah ditentukan.[9]
Orang-orang sezaman Luther dan kaum Anabaptis, juga menganut pandangan bahwa hal mengenai eskatologi juga terlibat dalam misi.
Salah satu alasan mengapa kaum Anabaptis berpegang pada “Amanat Agung” dan para reformator tidak dapat ditemukan dalam penafsiran mereka yang bertentangan mengenai realitas-realitas zaman mereka.[10]
Pada masa reformasi, gagasan “Amanat Agung” tetap mengikat gereja dan harus dipahami dalam pengertian pergi kepada orang-orang yang ada di luar batas-batas dunia Kristen.[11]
Dalam misi di zaman reformasi ini, ada pesan missioner gereja, di antaranya:
a.       Beritakanlah Kristus
Pemberitaan yang dimaksud ialah memberitakan tentang Kristus yang selalu menerima siapa saja, tanpa membeda-bedakan. Ia juga bersedia menghibur dan memperkuat siapa saja. Dengan demikian, segala hati akan berpaling kepadaNya dan tanpa dipaksa oleh apapun. Karena itu dengan pemberitaan ini membuat setiap mereka rindu untuk pergi kepadaNya dengan penuh keyakinan.[12]
b.      Jangan membatasi Injil
Injil harus diserukan kepada seluruh makhluk. Artinya bahwa Injil  diberitakan secara terbuka dan bebas ke seluruh dunia.[13]
c.       Amanat Agung
Amanat Agung dari Yesus Kristus berhubungan dengan semua raja, pangeran, negeri dan bangsa besar dan kecil, tua-muda, dll. Sebab Amanat Agung ini mengklaim segala takhta dan kuasa, beserta seluruhnya untuk menguasai dunia dengan wewenang yang tidak terbatas. Kristus melakukan hal seperti ini oleh karena ia memiliki hak dan wewenang sepenuhnya. Di samping itu, Kristus mengutus para muridNya untuk terus memberitakan Amanat Agung tanpa ada rasa takut terhadap apapun, sebab Kristus tetap menyertai.[14]
Pada abad ke-17 (abad ortodoksi Luther di Jerman), bukanlah zaman aktivitas misi yang sistematik ke negeri-negeri lain. Argumen-argumen yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
a.       Para rasul mula-mula memberitakan Kabar Baik di seluruh dunia. Dengan demikian menggenapi amanat Agung.
b.      Karena itu, tidak ada lagi amanat yang tersisa bagi gereja untuk suatu “misi bagi dunia”.
c.       Misi ini di masa kini hanya mengikat penguasa suatu negeri tertentu.
d.      Mereka bertindak hanya sejauh Allah memberikan waktu dan kesempatan yang lebih tepat.[15]

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Reformasi yang dicetuskan oleh Marthin Luther bertitik tolak pada pembenaran oleh Iman”. Ia melakukan penolakan terhadap praktek gereja pada masa itu yang telah menyimpang. Ia melihat bahwa penyimpangan-penyimpangan ini tidak boleh diteruskan lagi. Dalam aksinya, ia mendapat perlawanan dari gereja. Kendatipun demikian, tidak membuatnya terpengaruh untuk menegakkan kebenaran.
Luther dianggap sebagai seorang misionaris yang kreatif dan orisinal. Dalam usaha misi gereja, ia memberikan pedoman-pedoman dan prinsip-prinsip yang jelas dan penting. Titik tolak teologi para reformator adalah apa yang sudah dilakukan Allah di dalam Kristus. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui Injillah yang “memisikan” dan dalam proses ini memanggil umat manusia. Jadi, secara keseluruhan tekanannya adalah pada misi yang tidak tergantung pada usaha-usaha manusia.
Di samping Luther, tokoh lain yang turut berperan di dalam misi zaman reformasi, yaitu Yohanes Calvin (1509-1564). Ia menekankan kedaulatan Allah dalam teologinya. Bagi Calvin, pemerintahan Allah akan bertambah, tetapi bukan melalui karya manusia atau usaha gereja. Hal itu hanya akan terjadi melalui kasih pemilihan Allah.
Dalam misi di zaman reformasi ini, ada pesan missioner gereja, di antaranya:
a.       Beritakanlah Kristus;
b.      Jangan membatasi Injil; dan
c.       Amanat Agung.
Dalam kehidupan kita saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai penyimpangan pun masih terjadi dalam gereja. Melihat hal ini, kita sebagai warga gereja, mestinya berteladan pada apa yang dilakukan oleh Luther dan Calvin. Kita harus bertanggungjawab dan berani untuk menyuarakan kebenaran di tengah-tengah penyimpangan yang terjadi.

Daftar Pustaka

Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Thoman, Norman E., Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan sedunia, Jakarta: Gunung Mulia, 2009.






tanggapan
Misi bersifat ke dalam gereja. Marthin memahami bahwa misi bersifat dari dalam.  
©      Kebenaran oleh iman
Positif : kita didorong dakam karya penyelamatan Allah untuk melakukan misi
Negative : terjadinya pesimif terhadap misi
©      Agustinus mengatakan bahwa manusia pada awalnya itu baik tapi setelah itu dia jatuh dalam dosa
Positif : manusia telibat dalam misi dengan kerendahan hati dan bersyukur coz Allah telah mnyelamatkannya
Negatife : manusia tidak berusaha untuk memperbaiki diri
©      Keselamatan urusan pribadi dan dlm ajaran ini adalah kelahiran baru oleh Roh Kudus itu tanggung jawab individu
Negative : org akan bertumpu pada diri sendiri
Positif : dia menentang
©      Tidak dibutuhkan mediasi. Butuh juga jembatan dlm gereja tapi bukan untuk saluran keselamatan. Semua org tdk membutuhkan pengantara
Postf : bukan hanya misionari khusus yang dipanggil tapi semua org merasa terpanggil
Nega : adanya bahaya perpecahan coz org nant akan berjalan sndri
©      Solascriptura hanya olh alkitab
Post: dalam melaksanakan misi hanya alkitab itu yang menjadi dasar bukan kata orang
Nega: org memandang bahwa alkitab itu turun bulat2 dari sorga.

Kaum anababtis mengkritik bbrapa hal dari ML yaitu prinsip presbiterial synodal ttg jabatan dalm grj tdk ada yg lebih tggi tapi sama.


[1] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2009, hal. 374
[2] David J. Bosch, Transfrormasi, …, hal. 374-375
[3] David J. Bosch, Transformasi,…, hal. 375
[4] David J. Bosch, Transformasi,…, hal. 375-376
[5] David J. Bosch, Transformasi,…, hal. 376
[6] David J. Bosch, Transformasi,…, hal. 376-377
[7] David J. Bosch, Transformasi, …, hal. 378
[8] Norman E. Thoman, Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan sedunia, Jakarta: Gunung Mulia, 2009, hal. 56-57
[9] David J. Bosch, Transformasi, …, hal. 381
[10] David J. Bosch, Transformasi, …, hal. 382-382
[11] David J. Bosch, Transformasi, …, hal. 384
[12] Norman E. Thoman, Teks-teks, …, hal. 48-49
[13] Norman E. Thoman, Teks-teks, …,hal. 49
[14] Norman E. Thoman, Teks-teks, …, hal. 49-51
[15] Norman E. Thoman, Teks-teks, …, hal. 63

 [Y1]Apakah Allah tidak bekerja dalam misi tersebut? sejahat apapun seseorang Allah dapat bekerja dalam hatinya.
 [Y2]Saya tidak setuju
 [Y3]Misalnya ?
 [Y4]Bukanya peranan manusai itu penting?
 [Y5]Kehidupan membiara.

Comments

Popular posts from this blog

laporan buku ragi cerita II

teologi misi : misi abad modern (pencerahan)

teologi misi : misi gereja mula-mula