teologi misi : misiogi zaman reformasi,
Bab I
Pendahuluan
Pada pertemuan yang lalu telah dibahas mengenai misi
pada masa Abad Pertengahan. Dalam abad tersebut kegiatan misi dilakukan, tetapi dengan
kekerasan. Selain dengan kekerasan,
para misionaris melakukan misi dengan cara menguasai bidang politik
sehingga masyarakat terpaksa menerima ajaran yang diberikan. Akibatnya, misi yang dilakukan pada masa itu
bukan mencerminkan misi Allah, melainkan hanyalah sebuah upaya kristenisasi. Misi pada masa ini
bersifat kolonialisme.
Yang menjadi masalah pada masa ini, yakni semua pengajaran
dituntut untuk dapat diterima dengan akal. Hal ini membuat masyarakat mulai
memberontak dan menolak ajaran-ajaran gerejawi. untuk mengatasi masalah ini, maka dari
pihak gereja juga berusaha agar dapat menjelaskan ajarannya agar dapat diterima
dengan akal.[Y3]
Pada abad ini
berbagai penyelewengan dilakukan. Tidak hanya kepada masyarakat, melainkan juga
dalam ajaran Alkitabiah yang sudah menyimpang. Hal ini dilihat dari praktek
penjualan surat penghapus dosa. Masyarakat yang diperalat inipun hanya mengikuti
segala peraturan yang dikeluarkan.
Pada masa yang krisis ini, muncul suatu paradigma
yang baru dari Martin Luther (1483-1800 M). Ia melihat abad pertengahan ada
dalam suatu kebusukan, baik secara teologis maupun moral. Ia berusaha untuk
meluruskan kembali ajaran-ajaran yang telah menyimpang dari Alkitab.
Mengenai
praktek misi sendiri pada masa ini, kelompok akan membahasnya dalam paper ini dengan judul “Misi di zaman
Reformasi/Pietisme (1517-1800 M).
Bab II
Isi
1.
5
ciri teologi misi Protestan
a. Pasal
tentang pembenaran oleh iman
merupakan titik tolak teologi bagi Reformasi Protestan. Pasal ini mengungkapkan keyakinan dasar
Reformasi: ada jarak yang luar biasa antara Allah dan ciptaan-Nya, namun Allah,
dalam kedaulatan dan oleh kasih karunia-Nya (sola gratia), mengambil inisiatif untuk mengampuni, membenarkan dan
menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian, titik tolak Reformasi bukanlah apa
yang dapat dan harus dilakukan orang untuk mendapatkan keselamatan mereka,
melainkan apa yang telah Allah lakukan di dalam Kristus (Roma 1:16-17).[1]
b.
Yang erat terkait
dengan sentralitas kebenaran adalah pandangan bahwa manusia terutama sekali
dari prespektif kejatuhan ke dalam dosa, sebagai
ciptaan yang tersesat, tidak mampu melakukan apa pun tentang kondisi mereka.
Reformasi memisahkan hubungan dengan pandangan dari Aquinas tentang kebaikan
dan rehabilitas nalar manusia, bahwa nalar tersebut sudah rusak dan cenderung
berbuat kesalahan. Oleh karena itu, kejahatan harus direbut dari manusia.
Manusia harus disadarkan akan kondisi mereka yang sesat, agar mereka dibawah
pada pertobatan dan dilepaskan dari
beban dosa mereka yang berat.[2]
c.
Reformasi menekankan dimensi subjektif keselamatan. Bagi
Thomas Aquines, teologi masih merupakan scientia
argumentativa (ilmu pengetahuan yang didasarkan pada penalaran). Bagi
Luther ini adalah suatu pendekatan yang tidak mungkin. Allah tidak boleh
dianggap sebagai Allah di dalam diri-Nya (gott
an sich); Ia adalah Allah bagi saya, bagi kita, Allah yang demi Kristus
telah membenarkan kita oleh kasih karunia. Sejarah mengenai pribadi Luther dan
pertanyaan yang eksistensial “di manakah aku menemukan Allah yang pemurah?”
memainkan peranan di sini, seperti halnya juga dengan kenyataan bahwa pada
akhir abad pertengahan individu mulai muncul secara bersama-sama (kolektif).
Reformasi “meneologikan” perkembangan ini; pertanyaan tentang keselamatan
menjadi pertanyaan pribadi setiap individu. Penekanannya tidak lagi lenyap
dalam ribuan cara yang berbeda. Orang-orang percaya akan menekankan pengalaman
pribadi dan subjektif dalam kelahiran baru oleh Roh kudus, maupun tanggung
jawab individu dibandingkan dengan tanggung jawab kelompok.[3]
d.
Penegasan peranan dan
tanggung jawab pribadi menyebabkan penemuan kembali ajaran tentang imamat am orang percaya. Orang percaya
berada dalam hubungan langsung dengan Allah, hubungan ini merupakan suatu
hubungan yang hadir secara terpisah dengan gereja. Memang benar bahwa di dalam
kasus Luther sendiri dan karena cara gagasan tentang imamat am orang percaya
itu dipraktikan oleh kaum Anababtis, ia di paksa untuk mundur pada pemahaman
yang lebih kaku tentang jabatan. Ia
menyangkal keabsahan jabatan apapun yang tidak dikaitkan dengan
keberadaan jemaat-jemaat yang ditentukan secara geografis dan menolak gagasan
tentang siapapun yang menggunakan amanat agung sebagai dasar untuk membenarkan
jabatan gerejawi. Walaupun demikian memperkenalkan kembali gagasan tentang
imamat am orang percaya yang memulai sesuatu yang tidak dapat lagi dihapus,
sesuatu yang telah tetap menjadi ciri protestan sampai saat ini.[4]
e.
“Gagasan protestan”
diungkapkan dalam sentralitas kitab suci,
dalam kehidupan gereja. Ini berarti bahwa firman lebih tinggi kedudukannya
dan sakramen secara drastis dikurangi.[5]
Kelima ciri protestanisme ini, yang terhadapnya beberapa
ciri lain mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi pemahaman dan
perkembangan misi, baik positif maupun negatif.
Ciri pertama, penekanannya pada
pembenaran oleh iman pada pihak lain, dapat menjadi suatu dorongan yang kuat
bagi keterlibatan dalam misi. Namun ia pun dapat melumpuhkan usaha misi manapun.
Dapat diperdebatkan bukankah karena inisiatifnya tetap ada di tangan Allah dan
Allah sajalah yang dalam kedaulatanya memilih mereka yang akan diselamatkan?
setiap usaha manusia untuk menyelamatkan sesamanya adalah merupakan hujatan.
Kemenangan terpenting di mana individu dikorbankan
demi keseluruhan. Hal yang sama, penekanan yang berlebihan pada individu dapat
mengasingkannya dari kelompok dan menghancurkan kesadaran akan kenyataan, bahwa
seorang manusia itu sendiri adalah seorang di dalam komunitasnya.
Berbicara tentang imamat am orang
percaya berarti memperkenalkan kembali gagasan bahwa setiap orang kristen
mempunyai panggilan dan tanggung jawabnya melayani Allah, untuk terlibat aktif
di dalam pekerjaan Allah di dunia dan dengan demikian memutuskan hubungan
dengan konsep bahwa orang “biasa” adalah
“anak-anak” dan “objek” yang belum dewasa dari pelayanan gereja. Konsep ini
mengandung benih-benih perpecahan dalam gereja (skisma) yang ditimbulkan oleh
penafsiran dari setiap orang percaya atas kehendak Allah dengan cara yang
berbeda-beda, dan karena ada pimpinan gereja yang berwibawa (magisterium),
masing-masing mengambil caranya sendiri.
Sentralitas
kitab suci sebagai pembimbing kehidupan menandai kemajuan penting atas
pandangan, bahwa semua masalah iman dan kehidupan harus diatur, kadang-kadang
dengan semau-maunya oleh paus dan konsili.[6]
2.
Para
reformator dan misi
Kegiatan
misi ditemukan dalam diri para reformator, selain itu juga terdapat gagasan
tentang misi yang diketahui sampai saat ini. Misalnya, Luther. Ia tidak pernah
berpolemik menentang misi asing. Menurut Warneck, tidak ada penyesalan yang
diangkat oleh para reformator tentang ketidakmampuan mereka untuk pergi ke
dalam dunia. Tidak ada kata-kata penyesalan ataupun alasan tentang
keadaan-keadaan yang menghalangi mereka untuk melaksanakan tugas misi tersebut.[7]
Luther dianggap sebagai pemikir misi
yang kreatif dan orisinal. Ia adalah seorang misiolog. Dalam usaha misi gereja,
ia memberikan pedoman-pedoman dan prinsip-prinsip yang jelas dan penting. Titik tolak teologi para reformator adalah apa yang sudah
dilakukan Allah di dalam Kristus. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui
Injillah yang “memisikan” dan dalam proses ini memanggil umat manusia. Jadi, secara
keseluruhan tekanannya adalah pada misi yang tidak tergantung pada usaha-usaha
manusia.
Bagi Luther, iman adalah sesuatu yang hidup. Di
samping Luther, ada salah satu tokoh yang turut berperan di dalam misi zaman reformasi,
yaituYohanes Calvin (1509-1564). Ia menekankan kedaulatan Allah dalam
teologinya. Kemudian dalam sebuah khotbah tahun 1562, berdasarkan 2 Samuel
5:6-12, Calvin membandingkan nasib gereja di masa kini dengan Raja Daud yang
berusaha memenangkan Yerusalem. Bagi Calvin, pemerintahan Allah akan bertambah,
tetapi bukan melalui karya manusia atau usaha gereja. Hal itu hanya akan
terjadi melalui kasih pemilihan Allah.[8] Bagi
Luther dan Calvin, tidak perlu menggunakan kekerasan untuk mengkristenkan
orang.
Melalui reformasi, ada misi-misi yang
dilakukan sehingga gereja menjadi diperbaharui. Tetapi ketika para reformator
meninggalkan monastisisme,
hal itu mengakibatkan mereka kehilangan sebuah agen misi yang sangat penting.
Faktor-faktor
di atas juga berlaku bagi kaum Anabaptis.
Bedanya, kaum Anabaptis menerima dan
pada saat yang sama meradikalkan, gagasan Luther tentang imamat am orang
percaya yang universal. Selain itu, kaum Anabaptis membuang gagasan tentang
jabatan yang khusus dan ekslusif. Sedangkan Luther masih berpegang pada konsep
jemaat-jemaat yang terbatas secara wilayah dan pada jabatan gerejawi yang
terbatas pada wilayah geografis yang telah ditentukan.[9]
Orang-orang sezaman Luther dan kaum
Anabaptis, juga menganut pandangan bahwa hal mengenai eskatologi juga terlibat
dalam misi.
Salah
satu alasan mengapa kaum Anabaptis berpegang pada “Amanat Agung” dan para
reformator tidak dapat ditemukan dalam penafsiran mereka yang bertentangan
mengenai realitas-realitas zaman mereka.[10]
Pada masa reformasi, gagasan “Amanat
Agung” tetap mengikat gereja dan harus dipahami dalam pengertian pergi kepada
orang-orang yang ada di luar batas-batas dunia Kristen.[11]
Dalam
misi di zaman reformasi ini, ada pesan missioner gereja, di antaranya:
a. Beritakanlah
Kristus
Pemberitaan yang
dimaksud ialah memberitakan tentang Kristus yang selalu menerima siapa saja,
tanpa membeda-bedakan. Ia juga bersedia menghibur dan memperkuat siapa saja.
Dengan demikian, segala hati akan berpaling kepadaNya dan tanpa dipaksa oleh
apapun. Karena itu dengan pemberitaan ini membuat setiap mereka rindu untuk
pergi kepadaNya dengan penuh keyakinan.[12]
b. Jangan
membatasi Injil
Injil harus
diserukan kepada seluruh makhluk. Artinya bahwa Injil diberitakan secara terbuka dan bebas ke
seluruh dunia.[13]
c. Amanat
Agung
Amanat Agung dari Yesus
Kristus berhubungan dengan semua raja, pangeran, negeri dan bangsa besar dan
kecil, tua-muda, dll. Sebab Amanat Agung ini mengklaim segala takhta dan kuasa,
beserta seluruhnya untuk menguasai dunia dengan wewenang yang tidak terbatas.
Kristus melakukan hal seperti ini oleh karena ia memiliki hak dan wewenang
sepenuhnya. Di samping itu, Kristus mengutus para muridNya untuk terus
memberitakan Amanat Agung tanpa ada rasa takut terhadap apapun, sebab Kristus
tetap menyertai.[14]
Pada
abad ke-17 (abad ortodoksi Luther di Jerman), bukanlah zaman aktivitas misi
yang sistematik ke negeri-negeri lain. Argumen-argumen yang dipergunakan adalah
sebagai berikut:
a. Para
rasul mula-mula memberitakan Kabar Baik di seluruh dunia. Dengan demikian
menggenapi amanat Agung.
b. Karena
itu, tidak ada lagi amanat yang tersisa bagi gereja untuk suatu “misi bagi
dunia”.
c. Misi
ini di masa kini hanya mengikat penguasa suatu negeri tertentu.
d. Mereka
bertindak hanya sejauh Allah memberikan waktu dan kesempatan yang lebih tepat.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Reformasi yang
dicetuskan oleh Marthin Luther bertitik tolak pada pembenaran oleh Iman”. Ia melakukan penolakan terhadap praktek
gereja pada masa itu yang telah menyimpang. Ia melihat bahwa
penyimpangan-penyimpangan ini tidak boleh diteruskan lagi. Dalam aksinya, ia
mendapat perlawanan dari gereja. Kendatipun demikian, tidak membuatnya
terpengaruh untuk menegakkan kebenaran.
Luther
dianggap sebagai seorang misionaris yang kreatif dan orisinal. Dalam usaha misi
gereja, ia memberikan pedoman-pedoman dan prinsip-prinsip yang jelas dan
penting. Titik tolak teologi para reformator adalah apa yang sudah dilakukan
Allah di dalam Kristus. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui Injillah yang
“memisikan” dan dalam proses ini memanggil umat manusia. Jadi, secara
keseluruhan tekanannya adalah pada misi yang tidak tergantung pada usaha-usaha
manusia.
Di
samping Luther, tokoh lain yang turut berperan di dalam misi zaman reformasi,
yaitu Yohanes Calvin (1509-1564). Ia menekankan kedaulatan Allah dalam
teologinya. Bagi Calvin, pemerintahan Allah akan bertambah, tetapi bukan
melalui karya manusia atau usaha gereja. Hal itu hanya akan terjadi melalui
kasih pemilihan Allah.
Dalam
misi di zaman reformasi ini, ada pesan missioner gereja, di antaranya:
a. Beritakanlah
Kristus;
b. Jangan
membatasi Injil; dan
c. Amanat
Agung.
Dalam kehidupan kita saat ini,
tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai penyimpangan pun masih terjadi dalam
gereja. Melihat hal ini, kita sebagai warga gereja, mestinya berteladan pada
apa yang dilakukan oleh Luther dan Calvin. Kita harus bertanggungjawab dan
berani untuk menyuarakan kebenaran di tengah-tengah penyimpangan yang terjadi.
Daftar
Pustaka
Bosch,
David J., Transformasi Misi Kristen, Jakarta:
Gunung Mulia, 2009.
Thoman,
Norman E., Teks-teks Klasik tentang Misi
dan Kekristenan sedunia, Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
tanggapan
Misi
bersifat ke dalam gereja. Marthin memahami bahwa misi bersifat dari dalam.
©
Kebenaran oleh iman
Positif
: kita didorong dakam karya penyelamatan Allah untuk melakukan misi
Negative
: terjadinya pesimif terhadap misi
©
Agustinus mengatakan
bahwa manusia pada awalnya itu baik tapi setelah itu dia jatuh dalam dosa
Positif : manusia telibat dalam misi dengan
kerendahan hati dan bersyukur coz Allah telah mnyelamatkannya
Negatife : manusia tidak berusaha untuk memperbaiki
diri
©
Keselamatan urusan
pribadi dan dlm ajaran ini adalah kelahiran baru oleh Roh Kudus itu tanggung
jawab individu
Negative : org akan bertumpu pada diri sendiri
Positif : dia menentang
©
Tidak dibutuhkan
mediasi. Butuh juga jembatan dlm gereja tapi bukan untuk saluran keselamatan.
Semua org tdk membutuhkan pengantara
Postf : bukan hanya misionari khusus yang dipanggil
tapi semua org merasa terpanggil
Nega : adanya bahaya perpecahan coz org nant akan
berjalan sndri
©
Solascriptura hanya olh
alkitab
Post: dalam melaksanakan misi hanya alkitab itu yang
menjadi dasar bukan kata orang
Nega: org memandang bahwa alkitab itu turun bulat2
dari sorga.
[1] David J. Bosch, Transformasi
Misi Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2009, hal. 374
[2] David J. Bosch, Transfrormasi,
…, hal. 374-375
[3] David J. Bosch, Transformasi,…,
hal. 375
[4] David J. Bosch, Transformasi,…,
hal. 375-376
[5] David J. Bosch, Transformasi,…,
hal. 376
[6] David J. Bosch, Transformasi,…,
hal. 376-377
[7] David J. Bosch, Transformasi,
…, hal. 378
[8] Norman E. Thoman, Teks-teks
Klasik tentang Misi dan Kekristenan sedunia, Jakarta: Gunung Mulia, 2009,
hal. 56-57
[9] David J. Bosch, Transformasi,
…, hal. 381
[10] David J. Bosch, Transformasi,
…, hal. 382-382
[11] David J. Bosch, Transformasi,
…, hal. 384
[12] Norman E. Thoman, Teks-teks, …,
hal. 48-49
[13] Norman E. Thoman, Teks-teks,
…,hal. 49
[14] Norman E. Thoman, Teks-teks, …,
hal. 49-51
[15] Norman E. Thoman, Teks-teks, …,
hal. 63
Comments
Post a Comment
no SARA NO pornografi